Pengikut

Sabtu, 31 Desember 2011

Refleksi Forum Tanya Jawab 14: Filsafat Pendidikan Matematika

Objek formal  matematika adalah berupa benda-benda pikir mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Benda-benda ini dapat diperoleh dari benda konkret melalui abstraksi, yaitu kegiatan berpikir yang hanya memandang sifat-sifat tertentu saja dari benda/obyek yang dipikirkan atau dipelajari, dan melalui idealisasi, yaitu kegiatan berpikir yang memandang sempurna semua sifat yang ada dari benda/obyek yang dipikirkan.
Objek material matematika adalah benda-benda yang berada di lingkungan atau sekitar kita, dapat berupa benda-benda konkret, gambar atau model kubus, berwarna-warni lambang bilangan besar atau kecil, kolam berbentuk persegi, atap rumah berbentuk limas, piramida-piramida di Mesir, kuda-kuda atap rumah berbentuk segitiga siku-siku, roda berbentuk lingkaran, dan sebagainya. Secara material, kita dapat memikirkan kubus yang besar, kubus kecil, kubus yang berwarna-warni, dan seterusnya.

Kamis, 29 Desember 2011

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 8: Architectonic Mathematics (1)

Membangun pengetahuan matematika bagi peserta didik harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat perkembangan intelektualnya. Inilah yang dimaksud dengan matematika sekolah. Membangun pengetahuan peserta didik jenjang SD berbeda dengan peserta didik pada jenjang SMP, dan berbeda pula pada peserta didik pada jenjang SMA. Tataran untuk ketiga jenjang itu harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik pada masing-masing jenjang. Membangun pengetahuan matematika pada jenjang SD tidak bisa menggunakan cara-cara untuk jenjang SMP maupun SMA, demikian sebaliknya. Jadi, matematika sekolah sangatlah terikat oleh ruang dan waktu.

Rabu, 28 Desember 2011

Refleksi Forum Tanya Jawab 17: Menemukan bahwa Filsafat adalah Diriku

Filsafat adalah sebuah kegiatan berpikir (olah pikir) dengan obyek mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan. Semua yang ada mencakup semua yang sudah dan sedang terjadi, sedangkan semua yang mungkin ada mencakup sesuatu yang akan/mungkin terjadi.
Memikirkan semua yang ada tidak lain adalah sebuah refleksi dari yang sedang dan telah terjadi / dilakukan, dengan tujuan untuk memperbaiki/menjadikannya lebih baik di masa yang akan datang (yang mungkin ada).
Selama kita hidup, selama itu pula kita berpikir sesuai dengan dimensi masing-masing. Selama kita berpikir, selama itu pula kita berfilsafat. Jadi, filsafat tidak lain adalah diri kita itu sendiri. 

Refleksi Forum Tanya Jawab 16: Sintesis Hati dan Pikiran

Salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya adalah dikaruniainya akal/pikiran. Dengan karunia itu manusia punya kemampuan untuk berpikir/memikirkan semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupannya. Melalui proses berpikir inilah manusia bisa mencari, menemukan, memahami sesuatu,  membuat pertimbangan dan keputusan tentang sesuatu yang dipikirkannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka hasil akhir sebuah proses berpikir (keputusan/kesimpulan) harus melalui sebuah tahapan yang disebut menimbang. Pada tahan inilah diperlukan peran dari yang lain agar diperoleh sebuah kepuutusan/kesimpulan yang "baik". Inilah sebenar-benarnya fungsi hati, yaitu untuk memberikan masukan kepada pikiran tentang apakah sesuatu yang dipikirkan itu baik atau tidak menurut hati. 

Baca: Forum Tanya Jawab 16: Sintesis Hati dan Pikiran

Senin, 26 Desember 2011

Refleksi Sekolah Bertaraf Internasional : Sebuah Epistemology

Perjalanan RSBI menuju SBI saat ini masih sangat jauh dari yang diamanatkan oleh peraturan pemerintah yang mendasari penyelenggaraan SBI pada jenjang yang bersesuaian.

Hal yang paling menonjol dari perjalanan tersbut adalah penyiapan sarana dan prasarana sekolah. Ini memang sangat penting, tetapi menurut saya RSBI/SBI bukanlah sekolah dengan bangunan megah dan fasilitas mewah.

Dalam perjalanannya menuju SBI, ruh dari sekolah yaitu "kurikulum" dan "proses pembelajaran" hampir belum ada yang melaksanakannya sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan yang ada, yaitu kurikulum yang diperkaya dengan standar dari negara OECD atau negara maju lainnya, serta proses yang berbasis IT, aktif, kreatif, menyenangkan dan kontekstual.

Apalah artinya bangunan megah dan fasilitas mewah jika ruhnya diabaikan (kurang / tidak mendapat perhatian yang lebih)?

Jadi, apapun nama/istilahnya (Rintisan, Potensial, SSN, ataupun RSBI/SBI) yang paling utama adalah niat dan komitmen dari semua komponen terkait, yaitu pemerintah, sekolah (Kepala Sekolah, tenaga pendidik dan kependidikan), dan masyarakat (komite) untuk bersama-sama membangun kinerja sekolah yang berwawasan internasional dengan basis budaya lokal.
Terima kasih, dan mohon maaf atas kekurangan yang ada.

Rabu, 21 Desember 2011

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 44: Orang Paling Seksi Di Dunia

Jawaban atas pertanyaan: apakah "seksi" itu?, mungkin bisa sebanyak orang yang menjawabnya. Menurut saya orang yang paling "seksi" secara filsafat adalah mereka yang bisa menggunakan ke"seksi"annya dalam ruang dan waktu yang tepat.

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 42: Filsuf Tak Mampu Melarikan Diri

Selama manusia hidup, selama itu pula dia menggunakan akal/pikirannya untuk berpikir. Selama dia berpikir selama itu pula dia berfilsafat. Jadi, selama kita hidup di dunia ini, selama itu pula kita tidak akan lepas dari filsafat.

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 41: Anti Filsafat

Filsafat merupakan kegiatan berpikir untuk merefleksi semua yang ada dan yang mungkin ada. Semua yang ada di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan yang satu merupakan lawan dari lainnya. Siang dan malam, laki dan perempuan, besar dan kecil, tinggi dan rendah, besar dan kecil, sehat dan sakit, susah dan bahagia, dan masih banyak lagi yang lain. Semua itu merupakan contoh tesis dan anti tesisnya. Dan sebenar-benar anti tesis adalah juga tesis. Oleh karena itu sebenar-benar anti filsafat adalah juga filsafat. Trima kasih

Selasa, 20 Desember 2011

DIRIKU, MATEMATIKA, PENDIDIKAN, DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF RUANG DAN WAKTU


A.        Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang dikaruniai pikiran. Inilah salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya. Dengan karunia itu manusia memiliki kemampuan untuk berpikir mengenai semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupannya. Manusia memiliki kemampuan “meragukan” segala sesuatu, mampu ”bertanya”, mampu ”menghubungkan” gagasan-gagasan,  dan mampu membuat sebuah ”kesimpulan” dalam kegiatan berpikirnya. Dengan kemampuan berpikir ini manusia mampu membangun dan mengembangkan pengetahuannya. Untuk keperluan inilah semua manusia memerlukan matematika dan pendidikan. Begitu diperlukannya matematika dalam kehidupan, maka seorang ibu sudah mulai mengenalkan matematika kepada putra-putrinya sejak bayi. Seorang ibu yang sedang menggendong bayinya yang mungkin masih berumur 1 tahun atau bahkan kurang dari itu mulai mengajarkan pengetahuan sederhana kepada bayinya. Yang pertama diajarkannya adalah pengetahuan tentang ”bahasa” melalui panggilan-panggilan untuk orang-orang terdekatnya, seperti ”ayah/bapak/papa”, ”ibu/mama”, ”kakak/adik”, mbah/eyang” dan sebagainya. Selanjutnya yang kedua diajarkan seorang ibu kepada bayinya adalah ”matematika” melalui pengenalan bilangan ”satu, dua, tiga” atau ”setunggal, kalih, tigo” dan seterusnya. Setelah dua ha tersebut, yaitu ”bahasa” dan ”matematika” baru kemudian sang bayi akan diajarkan hal-hal lainnya. Sejak itulah manusia mulai mengenyam pendidikannya sebelum ia mengenyam pendidikan secara formal (di sekolah) maupun non formal di dalam masyarkat. Dengan demikian, sejak manusia dilahirkan, sejak itu pula mulai menggunakan pikirannya untuk berpikir dalam rangka membangun dan mengembangkan pengetehuannya untuk mencapai tujuan hidupnya. Itulah sebenarnya perjalanan filsafat seorang manusia sesuai dengan dimensi ruang dan waktunya.

B.        Diriku Dan Filsafat
Filsafat adalah sebuah kegiatan “refleksi", yang dalam kenyataannya bermakna sangat luas melebihi singkatnya kalimat itu. Luasnya makna filsafat tidak terlepas dari obyek filsafat itu, yaitu semua yang ada dan yang mungkin ada. Refleksi terhadap semua yang ada menjadi bahan pertimbangan untuk tindakan selanjutnya (yang mungkin ada). Hasil refleksi dari kegiatan berfilsafat menjadikan kita lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek lebih dari sekedar yang kita lihat. Kapan dan di mana kita harus melakukan atau tidak melakukannya selalu kita refleksi berdasarkan aturan, pengalaman, dan prinsip tertentu. Jadi, berfilsafat tidak lain adalah sebuah aktifitas untuk mendekati suatu keadaan yang disebut harmoni (setimbang) dalam kehidupan. Agar kegiatan refleksi itu membuahkan hasil yang baik dan bermanfat, maka dalam berfilsafat (refleksi) harus dilakukan secara total, yaitu dengan penuh kesadaran, mendasar, dan menyeluruh dengan memperhatikan ruang dan waktu.
Selama hidupnya setiap manusia pasti berpikir. Hasil pikirannya bisa berupa ucapan, tulisan, maupun perbuatan atau tindakan. Agar buah pikiran itu bergerak menuju ke yang lebih baik seiring dengan berubahnya ruang dan waktu, mutlak diperlukan sebuah refleksi dalam ruang dan waktu yang bersesuaian. Dengan demikian dalam hidup dan kehidupannya manusia tidak bisa lepas dari filsafat. Diriku, sebagai bagian dari itu pun dalam hidup dan kehidupan ini tidak bisa lepas dari filsafat. Apa yang saya pikirkan, ucapkan, tulis, dan lakukan tidak lain adalah perjalanan filsafat sesuai dengan dimensi yang ada. Diriku adalah subyek sekaligus obyek dalam filsafat. Sebagai subyek karena terkait langsung dengan kegiatan berpikir yang tidak lain adalah filsafat itu sendiri, sedangkan sebagai obyek karena merupakan salah satu bagian kecil dari obyek filsafat yang mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada.

C.        Matematika dan Filsafat
Matematika dan filsafat memiliki hubungan yang cukup erat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Filsafat merupakan dasar untuk mempelajari ilmu dan matematika merupakan ratu sekligus pelayan dari ilmu. Keduanya juga sama-sama bersifat apriori, mempunyai obyek abstrak (di alam pikir) dan tidak eksperimentalis, disamping itu hasil dari keduanya tidak memerlukan bukti secara fisik.
Pertanyaan sederhana tentang “apakah matematika itu?” adalah salah satu contoh pertanyaan filsafat yang berkaitan dengan hakekat atau ontologi. Jawaban atas pertanyaan itu tidak tunggal. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan itu adalah sebanyak yang menjawabnya. Namun demikian, beragamnya jawaban itu dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) aliran sesuai dengan hasil pemikiran para ahli (flsuf) yang sudah sejak abad 19 yang lalu memikirkannya. Ketiga aliran itu adalah: 1) Formalism, yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) seorang matematikawan Jerman. Bagi pengikut aliran ini, matematika merupkan sebuah pengethuan tentang struktur formal dari lambang (simbol). Aliran ini menekankan konsistensi matematika sebagai bahasa simbol; 2) Logicism, yang berpendapat bahwa semua matematika dapat diturunkan dari prinsip-prinsip logika. Dengan kata lain, aliran ini mengatakan bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang benar atau salahnya dapat ditentukan tanpa bukti empiris. Tokoh dalam aliran ini yang juga seorang ahli filsafat disamping matematikawan adalah Bertrand Russel (1872-1970) dan Alfred North Whitehead (1861-1947), berasal dari Inggris; 3) Intuisionism, dengan tokoh seorang matematkawan Belanda Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881-1966). Menurut pengikut aliran ini, matemtika berasl dan berkembng did lam pikiran manusia. Aliran ini sejalan dengan pendapat Imanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan bahwa mateatika merupakan pengetahuan yang eksistensinya tergantung pada pengalaman.

D.        Pendidikan dan Filsafat
Pendidikan sudah dilakukan sejak kita berada dalam lingkungan keluarga, mulai dari belajar berkomunikasi hingga belajar tentang tanggungjawab. Tiga pilar filsafat yaitu apa, bagaimana, dan mengapa kita melakukan sesuatu sudah mulai dipelajarai secara sederhana dengan semangat kebersamaan dalam lingkungan keluarga. Pertanyaan seorang anak kecil tentang apa, bagaimana, dan mengapa seseorang bisa sakit adalah salah satu contoh pertanyaan filsafat seorang anak yang disampaikan secara lugas dan sederhana namun tidak mudah untuk menjawabnya. Pendidikan di lingkungan keluarga ini menyiapkan kita untuk mengikuti pendidikan di level berikutnya, yaitu di lingkungan masyarakat sekitar secara formal (sekolah) ataupun non formal (di luar sekolah). Di dalam dua lingkungan itulah sebenarnya kita menempuh pendidikan, disamping secara formal melalui bangku sekolah yang hanya sebentar dan sangat terbatas.
Secara formal, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian ini tampak bahwan di dalamnya memuat faktor-faktor yang menunjukkan adanya aktifitas berfilsafat, yaitu usaha sadar, mengembangkan potensi diri, pengendalian diri, kepribadian, dan spiritual keagamaan. Pendidikan tidak lain adalah sebuah aktifitas seseorang berfilsafat dengan tujuan mengembangkan potensi diri agar memiliki kekuatan spiritual, kepribadian, dan kemampuan mengendalikan diri.
Pendidikan secara fomal memiliki 4 (empat) pilar, yaitu: 1) belajar untuk memahami; 2) belajar untuk berbuat kreatif; 3) belajar untuk hidup bersama; dan 4) belajar untuk membangun dan mengekspresikan jati diri. Pilar pertama yaitu memahami, memuat makna bahwa belajar harus mampu menjawab 3 pertanyaan mendasar: apa?, bagaimana?, dan mengapa? yang tidak lain dalam filsafat kita kenal sebagai ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pilar kedua yaitu kreatif, menyiratkan bahwa salah satu hasil belajar adalah dimilikinya daya cipta (kemampuan untuk menciptakan) sebagai penerapan dari apa yang telah dipelajarinya. Pilar yang ketiga adalah hidup bersma, menyiratkan bahwa disamping memiliki daya cipta, hasil belajar juga harus meningkatkan kemampuan seseorang untuk hidup bersama dalam masyarakat luas, saling membantu, menghargai antara satu anggota dengan anggota masyarakat lainnya. Yang terakhir, hasil belajar terlihat dari terbangunnya jati diri pebelajar sesuai dengan pilar keempat yaitu membangun dan mengekspresikan jati diri. Dengan jati diri yang kuat, akan memperkokoh fondasi bangsa, sehingga tidak akan mudah ”dijajah” oleh bangsa lain, karena memiliki karakter pribadi dan budaya yang kuat. 
Seperti halnya manusia dan filsafat, matematika dan filsafat, pendidikan dan filsafat juga merupakan dua hal yang tidak bisa sling lepas. Pendidikan mutlak membutuhkan dasar filosofis. Dengan dasar filosofis yang kuat dan jelas, akan memperjelas arah dan tujuan yang akan dicapai dalam pendidikan, sehingga prosesnya pun tidak akan menyimpang dari arah dan tujuan yang akan dicapai. Pendidikan tanpa dasar filosofis dapat diibaratkan seperti seseorang yang berjalan ditempat yang asing dalam keadaan gelap, sehingga besar kemungkinan akan melewati jalan-jalan yang semestinya tidak dilewati. Jika hal itu terjadi dalam dunia pendidikan, maka yang timbul adalah ”perampasan” hak-hak peserta didik untuk memahami, kreatif, hidup bersama dan membangun jati dirinya. Sebaliknya dalam berfilsafat juga dibutuhkan pendidikan. Tanpa pendidikan, kegiatan berfilsafat kita bisa masuk dalam ruang dan waktu yang salah/tidak sesuai, yang bisa mengakibatkan diperolehnya hasil yang tidak lebih baik dari sebelumnya sesuai dengan tujuan berfilsfat.

Datar Bacaan:
  1. Depdiknas. 2002. Ilmu Filsafat. Dirjen Dikdasmen-Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis. Jakarta. 
  2. -------------. 2004. Matematika (Materi Pelatihan Terintegrasi). Dirjen Dikdasmen-Direktorat Pendidikan Lanjutan pertama. Jakarta. 
  3. Marsigit. Hubungan antara Filsafat dan Matematika. http://marsigitphilosophy.blogspot.com/2008/12/hubungan-antara-filsafat-dan-matematika.html, diakses tanggal 12 Desember 2011

Baca di: Salam dari Thailand

Jumat, 16 Desember 2011

Refleksi Elegi SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN

Begitu kompleks permaslahan di dunia pendidikan kita, mulai dari peraturan-peraturan pemerintah yang lingkupnya terlalu sempit dan/atau bahkan tidak releven, optimalisasi peningkatan kualitas pendidikan, efektifitas kinerja lembaga-lembaga pendidikan, hingga masalah kesejahteraan guru/dosen sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan di lapangan.
Proses perbaikan dan/penyelesaian permasalahan tersebut harus secara terus menerus dilakukan oleh semua pihak yang terkait langsung dengan dunia pendidikan. Peraturan-peraturan pemerintah sebagai payung hukum harus menjadi prioritas utama sebelum menyentuh perbaikan di bidang lainnya. Setelah itu baru lembaga-lembaga terkait menjadi target perbaikan dan akhirnya para pelaku langsung melaksanakannya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan peraturan yang ada.
Khusus untuk nama (lembaga atau yang lainnya) menurut saya tidak terlalu pokok untuk diubah atau tidak diubah namanya. Nama sebaik apa pun tidak akan mengatasi masalah yang ada apabila tidak diikuti dengan program-program dan tindakan-tindakan yang kurang mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Nama KTSP bisa saja tidak di ubah, tetapi orientasinya seperti yang ada dalam surat terbuka ini. Demikian pula nama MGMP tidak harus diganti, tetapi program dan kegiatannya yang mesti diperbaiki, untuk menunjang efektifitas peningkatan mutu yang bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah "niat" dari para pelaku langsung untuk berubah dan terus berubah menjadi yang lebih baik. Niat atau kemauan untuk berubah menuju yang lebih baik dari para pelaku langsung inilah sebenarnya yang menjadi kunci utama penyelesaian berbagai permaslahan di dalam dunia pendidikan kita. Tanpa hal itu, perubahan/perbaikan peraturan pemerintah dan lembaga terkait dalam dunia pendidikan akan menjadi formalitas belaka.

Senin, 12 Desember 2011

Refleksi Philosophical Ground of Human Resources Development: Its implication to Educational Change

Pendidikan bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pendidikan mempunyai peran strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang handal yang mampu menghadapi dan menjawab tantangan persaingan global.
Dunia pendidikan diharapkan mampu menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia melalui peroses yang ada di dalamnya. Untuk bisa menghasilkan sumber daya manusia yang demikian, diperlukan perubahan paradigma dalam sistem dari pendidikan yang berorientasi pada hasil ke pendidikan yang berorientasi pada proses. Untuk ini perlu dibudayakan beberapa hal dalam dunia pendidikan kita, antara lain: 1) menciptakan sekolah sebagai laboratorium bagi peserta didi; 2) mendasarkan segala kebijakan pada umpan balik yang berasal dari hasil penelitian dan/atau survey; dan 3) meningkatkan budaya meneliti dalam mengatasi permasalahan yang ada.

Baca: Philosophical Ground of Human Resources Development: Its implication to Educational Change

Refleksi Constructing Mathematics Activity at Group-Discussion of The 6th Grade Students Of Primary Schools

Elegi ini merupakan salah satu contoh nyata bagaimana mengembangkan kegiatan peserta didik dalam rangka membangun pengetahuannya sendiri dalam proses pembelajaran.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa langkah-langkah mengembangkan kegiatan peserta didik dalam rangka membangun pengetahuannya sendiri dalam proses pembelajaran, sebagai berikut: 1) guru mengawali dengan menyampaikan materi yang akan dipelajari; 2) guru memberikan permaslahan dan menjelaskan kepada peserta didik apa yang harus dilaksanakan; 3) guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan diskusi kelompok (menggunakan bantuan LKS yang dikontruksi guru sendiri sebelum proses pembelajaran); dan 4) masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi serta membuat kesimpulan.
Melalui proses pembelajaran seperti itu dengan diamati oleh teman sejawat dan/ atau ahli yang bersesuaian, inovasi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam membangun pengetahuannya akan senantiasa berkembang. Dengan demikian guru mempunyai variasi yang banyak dalam proses pembelajaran.
Semoga elegi ini menjadi sebuah motivasi kepada kita (guru) di Indonesia untuk senantiasa berusaha melakukan pengembangan invovasi proses pembelajaran di kelasnya dengan perubahan paradigma dari "guru mengajar" menjadi "peserta didik belajar". 

Minggu, 11 Desember 2011

Refleksi dari: Do the Teachers need to Research their Own Teaching ?

Berdasarkan pernyataan bahwa tidak ada satupun metode yang tepat untuk semua topik dalam proses pembelajaran, maka seorang guru hendaknya senantiasa berusaha mencari dan menemukan metode pembelajaran yang cocok untuk menyampaikan nmaterimateri tertentu dalam proses pembelajarannya. Hal ini sangat diperlukan agar kualitas pembelajaran bisa meningkat yang akan bermuara pada meningkatnya kompetensi peserta didik sebagai hasil membangun pengetahuannya melalui proses pembelajaran tersebut.
Seorang guru mempunyai kesempatan yang luas untuk melakukan kegiatan tersebut tanpa harus mengurangi beban tugas profesionalnya dalam mengajar. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut dapat dilakukannya sambil melakukan proses pembelajaran di kelasnya. Tanpa usaha seperti itu maka guru cenderung akan menggunakan metode yang tidak variatif dalam proses pembelajarannya. Hal ini akan menjadikan seorang guru memitoskan terhadap metode tertentu. 
Kondisi nyata saat ini masih banyak guru yang belum berusaha melakukan penelitian terhadap proses pembelajarannya. Salah satu indikasi dugaan ini adalah banyaknya guru bergolongan IV/a yang hingga bertahun-tahun cenderung tetap pada pangkat dan golongan itu. Hal ini dikarenakan komponen pengembangan profesi yang salah satu caranya dapat dilakukan melalui penelitian tindakan kelas jarang/tidak dilakukannya.
Tanpa didasari semata-mata untuk mengejar kenaikan pangkat/golongan, seharusnya kita (guru) mulai menetapkan niat untuk senantiasa mengembangkan profesinya melalui penelitian tindakan kelas yang bisa dilakukannya sambil melakukan proses pembelajaran di kelasnya. Kita (guru) harus senantiasa berusaha meningkatkan sensitifitasnya terkait dengan proses pembelajaran di kelasnya. Kita harus senantiasa membiasakan mengidentifikasi masalah dalam proses pembelajaran, menentukan alternatif solusi atas masalah tersebut, menguji, mengevaluasi, merefleksi, dan membuat kesimpulan. Dengan kebiasaan yang demikian diharapkan proses pembelajaran dari waktu-ke waktu terus berubah menuju yang lebih baik.

Sabtu, 10 Desember 2011

Refleksi The Role of Lesson Study to Improve Teaching Learning of Mathematics and Science

Lesson Study merupakan salah satu alternatif mengatasi permasalahan dalam proses pembelajaran yang hingga saat ini masih dinilai oleh banyak pihak belum memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk membangun sendiri pengetahuannya. Keunggulan lesson study adalah para guru bisa mengembangkan profesionalitasnya melalui penelitian kelas dalam proses pembelajaran. Sedangkan bagi peserta didik pembelajaran dengan lesson study memberikan kesempatan yang lebih luas kepada mereka untuk mngkonstruksi sendiri pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Hasil penelitian kelas melalui kegiatan lesson study dapat memunculkan inovasi-inovasi baru dalam proses pembelajaran, mencakup strategi, metode, pendekatan, model, sumber belajar dan komponen lain yang terkait langsung dengan proses pembelajaran.
Lesson Study dilaksanakan dengan 3 (tiga) tahapan utama, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan refleksi. Kegiatan perencanaan meliputi penyiapan strategi, metode, pendekatan, model, dan sumber belajar yang dirancang ke dalam sebuah sekenario pembelajaran (RPP) yang melibatkan teman sejawat. Tahapan berikutnya adalah melaksanakan apa yang sudah racang dalam tahap perencanaan yang melibatkan observer dari berbagai komponen terkait. Tahap terakhir adalah melaksanakan refleksi terhadap pelaksanaan. Tahapan ini diawali dengan penyampaian pengalaman guru selama melaksanakan proses pembelajaran, kemudian diikuti penyampaian pendapat/masukan dari observer tentang jalannya proses pembelajaran. Melalui kegiatan refleksi ini dimungkinkan muncul ide-ide baru yang inovatif untuk kepentingan pembelajaran berikutnya.
Pembelajaran berbasis lesson study merupakan jawaban untuk mengubah paradigma "guru mengajar" menjadi "peserta didik belajar". Lesson Study merupakan salah satu inovasi dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepad peserta didik untuk membangun sendiri pengetahuan barunya melalui proses pembelajaran.
Pelaksanaan lesson study di Indonesia masih merupakan barang yang langka, kecuali di beberapa sekolah yang dijadikan pilot project pelaksanaan lesson study. Salah satu kendala/hambatan pelaksanaan lesson study di Indonesia adalah karakter peserta didik yang belum biasa mengadapi kehadiran orang lain (observer) di kelasnya saat proses pembelajaran berlangsung. Hal ini sangat terkait dengan masih jarangnya pelaksanaan pembelajaran berbasis lesson study di Indonesia. Ke depan semoga Lesson Study semakin banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia sebagai salah satu jawaban perubahan paradigma pembelajaran.

Jumat, 09 Desember 2011

Refleksi Elegi Guru Menggapai Perubahan

Tidak ada di dunia ini yang tidak berubah. Semua yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini mengalami perubahan. Sebenar-benar perubahan adalah usaha kita untuk selalu menuju pada kebaikan baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Untuk bisa melakukan perubahan yang demikian, kita harus sadar tentang perubahan itu sendiri, kemudian melakukan niat dan motivasi untuk melakukan perubahan. Selanjutnya kita harus mencoba dan terus mencoba dengan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan perubahan itu serta senantiasa melakukan refleksi terhadap yang telah kita lakukan dalam perubahan tersebut.
Dalam dunia pembelajaran, perubahan harus selalu dilakukan. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut berhubungan langsung dengan obyek hidup yang senantiasa berubah, yaitu siswa. Pernyataan bahwa tiada metode yang paling cocok dalam proses pembelajaran harus memotivasi kita (para guru) untuk senantiasa melakukan perubahan dalam proses pembelajarannya. Sebenar-bernar perubahan dapat kita lakukan melalui penelitian yang bisa kita lakukan dalam proses pembelajaran itu. 

Kamis, 08 Desember 2011

Refleksi Ungkapan seorang mahasiswi tentang pengalamannya melakukan penelitian bersama guru matematika di sekolah

Elegi yang memberikan pencerahan dan motivasi bagi saya sebagai seorang guru untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kualitas pembelajaran dengan melakukan penelitian sambil mengajar. 
Hasil penelitian yang disampaikan juga memberikan gambaran yang nyata bahwa proses pembelajaran dengan metode kooperatif bisa bisa meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi tertentu. Disamping itu juga meningkatkan ketrampilan sosial siswa dan juga keberanian mengemukakan pendapat. 
Dengan metode kooperatif proses pembelajaran lebih memberikan kesempatan lebih banyak kepada siswa sebagai subyek belajar untuk berpartisipasi aktif melalui keterlibatannya dalam membangun pengetahuan barunya.
Hal yang paling berharga dari pengalaman penelitian tindakan kelas ini adalah bahwa sudah saatnya para guru saat ini memulai menemukan dan mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam proses pembelajarannya dengan mencoba dan mencoba melakukan kegiatan serupa. 
Terima kasih.

Refleksi Elegi Permintaan Si Murid Cerdas Kepada Guru Matematika

Elegi yang sangat menyentuh dan memotivasi kita (para guru) untuk hijrah dari paradigma "guru mengajar" menjadi "siswa belajar". 
Belajar matematika merupakan aktifitas membangun pengetahuan di bidang matematika. Oleh karena itu para guru matematika sudah seharusnya memberi kesempatan yang luas kepada para siswanya untuk berperan lebih aktif dalam proses pembelajarannya, sehingga mereka mempunyai kesempatan yang luas untuk membangun pengetahuan matematikanya sendiri sesuai dengan potensi dan pengalamannya masing-masing. Guru dituntut untuk lebih berperan sebagai fasilitator daripada sebagai satu-satunya sumber utama dalam proses pembelajaran. Sebaliknya, siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran.
Dengan keterlibatan siswa yang tinggi dalam proses pembelajaran maka kreatifitas mereka akan muncul dan proses pembelajaran menjadi lebih aktif dan menyenangkan, sehingga tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan yang harapkan.

MEMAHAMI HAKEKAT PESERTA DIDIK MEMBANGUN PENGETAHUANNYA SENDIRI DALAM KONTEKS KELAS BERTARAF INTERNASIONAL

Oleh: Yuliyanto

A.    Pendahuluan
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan yang dimaksud peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya pedidikan adalah sebuah usaha sadar yang bertujuan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan potensinya melalui proses pembelajaran.
 
Untuk mencapai tujuan tersebut, proses pembelajaran di kelas harus dirancang sedemikian hingga peserta didik mampu membangun pengetahuannya sendiri melalui bimbingan guru. Di dalam permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses disebutkan bahwa proses pem¬belajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, me¬motivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativi¬tas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan hal ini maka haruslah guru mengubah paradigma dari guru ”mengajar” menjadi peserta didik ”belajar”. Hal ini menuntut adanya perubahan paradigma yang lain yaitu dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (students centered).
 
Lebih lanjut disebutkan dalam permendiknas nomor 41 tahun 2007 bahwa kegiatan inti dalam proses pembelajaran harus mencakup kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Kegiatan eksplorasi dimaksudkan untuk mengeksplore kemampuan peserta didik dalam membangun pengetahuannya melalui kegiatan yang aktif dan interaktif. Sedangkan kegiatan elaborasi dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik menyampaikan hasil eksplorasi kemampuannya membangun pengetahuan barunya. Sedangkan kegiatan konfirmasi dilakukan dengan maksud sebagai media refleksi dan pemerolehan umpan balik serta membangun motivasi dalam membangun pengetahuannya.
 
Sejak tahun 2007 pemerintah mulai meralisasikan pembentukan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal ini merupakan realisasi amanat yang tertuang pada BAB XIV pasal 50 ayat 3 UU nomor 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pemerintah dan / atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurang-nya satu satuan pendidikan   pada   semua jenjang   pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Selanjutnya secara berturut-turut pada tahun 2008 dan 2009 pemerintah juga menetapkan beberapa sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia di tetapkan sebagai RSBI angkatan 2 dan 3. Kebijakan ini diikuti dengan penetapan permendiknas nomor 78 tahun 2009 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa sekolah bertaraf internasional yang selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Tujuan penyelenggaraan SBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki keampuan: 1) menampilkan keunggulan lokal ditingkat internasional; 2) bersaing dalam berbagai lomba internasional; 3) bersaing kerja di luar negeri; 4) berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya; 5) berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup; dan 6) menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara professional.
 
Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa yang RSBI/SBI = SNP + X dengan SNP adalah standar nasional pendidikan yang memuat indikator kinerja kunci minimal (IKKM) dan X adalah variabel yang mencakup indikator kinerja kunci tambahan (IKKT). Dengan demikian sebuah RSBI/SBI harus menambahkan variabel X pada 8 standar nasional pendidikan yang meliputi standar kopetensi lulusan (SKL), isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, sarana prasarana, pembiayaan serta standar penilaian.
 
Untuk bisa menjadi SBI, adalah hal yang mutlak untuk melaksanakan sistem  yang memenuhi kriteria tersebut. Selanjutnya dalam tulisan ini hanya akan dibahas variabel X yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang difokuskan pada peserta didik dalam membangun pengetahuannya sendiri dalam proses pembelajaran.

B.    Belajar dan Pembelajaran
Manusia belajar sejak dilahirkan (bahkan sejak masih dalam kandungan ibunya). Belajar merupakan kegiatan bagi seseorang dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Arlina Gunarya (2009: 2) mengatakan bahwa belajar adalah panggilan hidup. Sugihartono, dkk. dalam Hamdan Nugroho (2009) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Dann (2003: 9) mengatakan bahwa “learning is a covert, intellectual activity which proceeds in the socially complex, potentially rich environment”. Menurut Dann, belajar adalah kegiatan/aktifitas intelektual yang berlangsung secara sosial dalam arti luas dengan melibatkan potensi lingkungan sekitarnya.
 
Berdasarkan beberapa pendapat tentang belajar tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya belajar adalah sebuah aktifitas dalam kehidupan seseorang dalam usaha mengenali dan mencari tahu tentang sesuatu. Belajar merupakan sebuah interaksi sosial yang melibatkan lingkungan sekitarnya. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah menjadi bentukan guru, melainkan kegiatan aktif peserta didik untuk membangun pengetahuan yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain.
 
Pembelajaran yaitu proses fungsional antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan (Erman Suherman, 2001:9). 
Pembelajaran merupakan sebuah proses pendidikan yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya. Pembelajaran di sekolah merupakan proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan (message) yaitu materi dari sumber (resource) kepada penerima (receiver) melalui saluran atau media (channel) tertentu. Proses komunikasi yang baik dalam pembelajaran, apabila peserta didik mampu membangun pengetahuannya sendiri. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuannya secara mandiri. McDonald  dalam  Omar Hamalik (2001: 124) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran adalah: tujuan pembelajaran,  motivasi, guru, materi pembelajaran, metode yang digunakan, media, evaluasi, dan situasi lingkungan.

C.    Proses Pembelajaran di RSBI/SBI
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) seperti tertuang di dalam permendiknas nomor 78 tahun 2009 diselenggrakan setelah memenuhi 8 (delapan) unsur SNP yang diperkaya dengan standar pendidikan negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Proses pembelajaran di kelas RSBI/SBI dilaksanakan berdasarkan standar proses yang diperkaya dengan model proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Disamping itu, proses pembelajaran harus menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan kontekstual.
 
Proses pembelajaran harus aktif, artinya menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar yang sedang membangun pengetahuan. Tiga pernyataan Konfusius, yaitu “yang saya dengar, saya lupa, “yang saya lihat, saya ingat” dan “yang saya kerjakan, saya pahami” mencerminkan perlunya cara belajar yang aktif. Pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran yang hanya menggunakan metode ceramah saja (peserta didik mendengarkan) akan mudah dilupakan. Sebaliknya, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukannya maka pengetahuan baru yang diperoleh akan lebih dipahami. Proses pembelajaran yang aktif tidak terpusat pada guru melainkan pada peserta didik. Guru bukanlah satu-satunya sumber utama dalam proses pembelajaran. Interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran yang aktif tidak secara searah (dari guru ke peserta didik), melainkan harus multi arah. Guru harus berperan sebagai fasilitator yang memberikan kesempatan luas kepada peserta didiknya untuk membangun pengetahuannya melalui interaksi multi arah dalam proses pembelajaran.
 
Disamping aktif, proses pembelajaran juga harus kreatif, baik guru maupun peserta didik. Guru harus kreatif dalam menggunakan berbagai strategi, metode, pendekatan, dan model dalam proses pembelajarannya. Demikian juga peserta didik, mereka harus difasilitasi dan dimotivasi agar kreatifitasya dalam rangka membangun pengetahuannya muncul sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Melalui proses pembelajaran yang aktif dn kreatif diharapkan akan tercipta suasana yang lebih menyenangkan, sehingga proses pembelajaran dalam rangka membangun pengetahuan baru berlangsung lebih efektif.
 
Proses pembelajaran di kelas RSBI/SBI menurut permendiknas nomor 78 tahun 2009, disamping harus aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan juga dituntut menggunakan pendekatan yang kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Pembelajaran dengan pendekatan CTL merupakan konsep pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan dunia nyata peserta didik. Prinsip yang melatar belakangi konsep pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah pernyataan bahwa “belajar akan lebih bermakna apabila peserta didik ‘mengalami’, bukan ‘mengetahui’ apa yang dipelajari”.
 
Pembelajaran dengan pendekatan CTL didasari oleh filosofi “konstruktivisme” hasil gagasan Jean Piaget (Swis), dan Lev Vygotsky (Rusia), yang memuat 5 (lima) unsur dasar, yaitu : 1) Activating knowledge (pengaktifan pengetahuan yang sudah ada); 2) Acquiring knowledge (pemerolehan pengetahuan baru); 3) Understanding knowledge (pemahaman pengetahuan); 4) Applying knowledge (mempraktekkan pengetahuan); dan 5) Reflecting knowledge (refleksi terhadap pengetahuan)
 
Kelima unsur dasar itulah yang menuntut pembelajaran di kelas RSBI/SBI untuk berpusat kepada peserta didik (students centered). Peserta didik diposisikan sebagai subjek yang harus membangun sendiri pengetahuannya melalui proses pembelajaran. Hal tersebut menuntut para guru RSBI/SBI untuk bisa mengubah paradigma “guru akting di depan kelas, dan peserta didik menonton” menjadi “peserta didik belajar dan bekerja, sedang guru mengarahkan dan memfasilitasi”. Konsekuensi dari perubahan paradigma tersebut adalah guru perlu menggunakan model pembelajaran yang variatif dalam proses pembelajarannya. Untuk itu, para guru RSBI/SBI harus selalu memperkaya pengetahuan dan meningkatkan ketrampilannya, terutama dalam metode dan strategi pembelajaran yang memfasiitasi peserta didik untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui proses pembelajaran yang dirancangnya.
DAFTAR PUSTAKA

  1. Arlina Gunarya (2009. Hakekat Belajar (modul). Panitia Tingkat Universitas-Pelatihan Basic Study Skill bagi Mahasiswa Angkatan 2009. Makasar.
  2. Dann, Ruth. 2003. Promoting Assessment As Learning - Improving the Learning Process. Taylor and Francis Group. London and New York.
  3. Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Dirjendikdasmen-Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Jakarta.
  4. Erman Suherman dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.UPI . Bandung
  5. Hamdan Nugroho (2009). Esai Revitalisasi Proses Pengkaderan Ipm Kota Yogyakarta Sebagai Pendidikan Awal Calon Kader. http://hamsmars.blogspot.com/2009_06_01_archive.html (Diakses tanggal 17 Maret 2011)
  6. Oemar Hamalik (2004). Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara: Jakarta.
  7. Permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses.
  8. Permendiknas nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
  9. Silbermann, Melvin L. 2006. Active Learning: 1001 Cara Belajar Siswa Aktif. Penerbit Nusamedia.Bandung.
  10. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Selasa, 06 Desember 2011

Refleksi Elegi Menggapai Tetap

Semua yang ada dan yang mungkin ada dalam dunia ini tidak ada yang bersifat tetap. Kita harus yakin bahwa di dunia ini tidak ada satupun yang bersifat tetap. Yang mempunyai sifat tetap itu hanyalah Sang Penguasa ruang dan waktu yaitu Allah Tuhan Yang Maha Esa. Semua ketetapa-Nya bersifat tetap/absolut/mutlak. Bahwa jodoh, rizki, dan mati yang sudah ditetapkan-Nya itulah sebenar-benarnya contoh yang tetap. Manusia tidak akan mampu mengubahnya sekalipun dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya.
Nasehat bijak bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari sekarang merupakan nasehat yang menuntut kita untuk selalu berubah menuju yang lebih baik sesuai dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu sebenar-benarnya tetap adalah usaha kita untuk senantiasa berubah dari waktu ke waktu menuju keadaan yang lebih baik.
Semoga Allah senantiasa meridhoi setiap usaha kita untuk menuju yang tetap setelah berakirnya kehidupan ini. Amiiin....

Senin, 05 Desember 2011

Refleksi Elegi Menggapai Kategori

Menurut Imanuel Kant, kemampuan manusia untuk membangun pengetahuannya didasarkan pada kategori yang ada dalam pikiran manusia yang terdiri dari 12 kategori yang dibagi menjadi 4 yaitu kuantitas, kualitas, hubungan, dan modalitas dengan masing-masing kategori terdiri dari 3 kategori lainnya.
Dengan segala keterbatasan yang ada, menurut saya kategori hubungan dan modalitas adalah bagian dari kategori kualitas. Oleh karena itu semua yang ada dan yang mungkin ada dapat hanya dikategorikan menjadi 2 yaitu kuantitatif (menunjuk banyak/sedikit) dan kualitatif (menunjuk kepada sifat obyek).

Refleksi Elegi Menggapai Pengetahuan Obyektif

Dengan akal/pikirannya manusia memiliki kemampuan untuk merefleksi semua yang ada untuk mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan barunya. Berdasarkan sesuatu yang kita pikirkan, kita bisa mengimajinasikan, membuat persepsi, melakukan analisis dengan metode tertetnu, lalu menyimpulkannya, kemudian menuangkannya sebagai sebuah pendapat. Inilah tesis kita dari yang ada yang menjadi obyek pikiran kita. Pengetahuan yang seperti ini masih bersifat subyektif, artinya semua yang kita lakukan yang terdiri dari imajinasi, persepsi, analisis, dan kesimpulan/pendapat itu baru "benar" menurut kita.
Agar pengetahuan/pendapat itu menjadi obyektif, maka harus diperbincangkan dalam forum tertentu yang melibatkan orang banyak untuk dicari anti tesisnya, seperti pameran, diskusi, seminar dan sejenisnya. Dari sini akan muncul anti tesis-anti tesis dari tesis kita, yang selanjutnya dengan mensintesisnya akan menjadi sebuah pengetahuan baru yang bersifat obyektif (benar secara umum).
Dari elegi ini kita bisa belajar untuk bersikap kritis terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada dengan selalu berusaha menemukan tesis, anti tesis dan melakukan sintesis dalam membangun pengetahuan yang obyektif. Komen-komen elegi ini adalah contoh tesis/pendapat/kesimpulan/pengetahuan yang masih bersifat subyektif menurut yang membuat komen. Adalah sebuah media yang cocok bagi kita untuk memperbincangkannya, menemukan anti tesisnya, dan mensintesisnya agar menjadi sebuah pengetahuan yang obyektif.
Baca: Elegi Menggapai Pengetahuan Obyektif

Refleksi Elegi Menggapai Lengkap

Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah yang memiliki keistimewaan dari makhluk yang lain. Salah satu keistimeaan itu adalah manusia dikaruniai akal/pikiran, sehingga mampu berpikir. Dalam perjalanan hidupnya manusia selalu berpikir terhadap obyek yang meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada baik dalam dirinya maupun di luar dirinya. Dengan kemampuan berpikir tentang semua yang ada dan yang mungkin ada itu, manusia memiliki kemampuan merefleksi kehidupnya untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan karunia pikiran itu manusia juga mempunyai kemampuan selalu mengembangkan pengetahuannya.
Namun demikian, dibalik keistimewaan yang diberikan manusia harus mengakui bahwa mereka tidak akan bisa menggapai apa yang mereka pikirkan. Manusia harus menyadari sepenuhnya bahwa mereka diciptakan dalam kodrat yang sangat terbatas yang tidak akan mungkin menggapai lengkap/sempurna. Oleh karena itu, sebenar-benarnya yang dilakukan manusia dengan akal/pikirannya adalah semata-mata berusaha untuk mendekatinya tanpa mungkin bisa menggapainya secara mutlak.
Oleh karena keterbatasan itulah manusia juga dikaruniai kemampuan untuk menyederhanakan semua yang ada dan yang mungkin ada yang menjadi obyek pikirannya. Inilah yang dinamakan kemampuan mereduksi. Kemampuan ini pun juga terbatas, tidak mungkin semua yang ada dan yang mungkin ada yang menjadi obyek pikirnya mampu direduksi secara sempurna. Oleh karena itu, kita harus berusaha dan terus berusaha mengasah kemampuan metode berpikir reduksi ini dengan tepat, sesuai dengan ruang dan waktu. Sebenar-benar reduksi adalah yang memperhatikan ruang dan waktu, yaitu kapan, dimana, dan kepada siapa reduksi itu kita lakukan.
Elegi ini memberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga kepada kita semua, bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan dengan kodrat terbatas. Oleh karena itu dalam hidup ini seharusnya kita rendah hati dan tidak sombong, bersikap sederhana, serta terus berusaha menuju pada kehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya, karena umur kita adalah terbatas. Semoga kita semua senantiasa dalam bimbingan-Nya, dzat yang maha lengkap dan sempurna.

Rabu, 30 November 2011

Refleksi Elegi Menggapai Kenyataan

Kenyataannya kita harus siap menghadapi kenyataan yang ada, yaitu semua yang bisa kita lihat dan kita rasakan dengan indera yang kita punya, mencakup semua yang sudah dan sedang terjadi. Kenyataan yang sudah terjadi adalah sebuah sejarah dan setiap manusia termasuk kita semua punya sejarah. Kenyataannya tidak semua yang kita pikirkan bisa menjadi kenyataan. Oleh karena itulah kita harus siap menerima kenyataan yang sudah, sedang dan akan terjadi Kenyataan yang sudah dan sedang terjadi merupakan sumber refleksi bagi kita untuk selalu berpikir mengumpulkan pengetahuan sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Inilah yang disebut dengan harapan, yaitu sesuatu yang masih kita pikirkan. Apakah di waktu yang akan datang yang kita pikirkan itu akan benar-benar terwujud atau tidak saat ini kita tidak pernah bisa menjawabnya. Sebuah harapan yang kelak benar-benar terwujud sesuai yang kita pikirkan itulah yang disebut dengan kenyataan. Jika sebaliknya, maka kenyataanya tidak sesuai dengan harapan kita.
Setiap manusia pasti mempunyai harapan, tetapi tidak akan pernah bisa menjaminnya menjadi sebuah kenyataan. Oleh karena itu, sebenar-benar yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha untuk mewujudkan harapan kita menjadi sebuah kenyataan dengan senantiasa selalu diiringi doa yang bersandar dan berlindung total di bawah kuasa-Nya, satu-satunya yang dapat menjadikan harapan kita menjadi sebuah kenyataan atau tidak.

Selasa, 29 November 2011

Refleksi dari Elegi Menggapai Penampakkan

Penampakan adalah sesuatu yang kita lihat atau kita pikirkan. Dia bisa mencakup semua yang ada (untuk dilihat) dan yang mungkin ada (untuk dipikirkan). Dia bersifat terbuka sekaligus tertutup. Dia terbuka apabila hanya kita lihat atau pikirkan saja tanpa diucapkan. Sebaliknya dia akan menjadi tertutup apabila kita tidak hanya melihat atau memikirkan, tetapi juga mengucapkannya.
Sebenar-benar penampakan diri kita adalah diri kita sendiri pada batas penglihatan dan pikiran kita. Itulah sebenar-benar pengetahuan (ilmu) kita yang sangat terbatas. Tiadalah kita dapat melihat semua yang ada dan memikirkan semua yang mungkin ada.
Elegi ini memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak sombong dalam memperluas pengetahuan (ilmu). Dalam nasehat bijak orang Jawa biasa dikatakan dengan kalimat "aja rumangsa bisa nanging bisa a rumangsa" (janganlah merasa bisa tapi bisalah merasa). Inilah setinggi-tinggi pengetahuan (ilmu) kita, yaitu ketika secara sadar kita mengakui bahwa sebenarnya kita tidak bisa apa-apa selain hanya berusaha untuk mendekatinya.

Senin, 28 November 2011

Refleksi Elegi Perbincangan Bukan Benar dan Bukan Salah

Benar dan salah adalah dua hal yang saling berlawanan yang melekat sebagai predikat bagi semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan, sebagai obyek kajian filsafat. Kebenaran bagi semua yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini bersifat relatif terhadap ruang dan waktu. Benar menurut seseorang di dunia ini bisa menjadi bukan benar bagi seseorang lainnya, sebaliknya salah menurut seseorang di dunia ini bisa jadi bukan salah untuk seseorang lainnya. Inilah mengapa benar, salah, bukan benar, dan bukan salah di dunia ini bersifat relatif terhadap ruang dan waktu. Kebenaran mutlak hanyalah di tangan Allah Tuhan semesta alam.

Filsafat Dalam Perspektif Lintas Kehidupan

Kegiatan filsafat merupakan refleksi, yaitu sebuah kegiatan berpikir yang mencakup kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan-gagasan,  menanyakan ”mengapa” mencari jawaban yang lebih baik daripada jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai kegiatan refleksi mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Dapat dikatakan bahwa kegiatan filsafat mencakup 3 (tiga) hal pokok, yaitu: mempelajari aturan, bergantung pada pengalaman, dan mengikuti prinsip atau aturan tertentu.
Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai pikiran tidak bisa terlepas dari kegiatan filsafat. Sejak manusia lahir telah dikaruniai pikiran. Oleh karenanya sejak saat itulah manusia mulai berfilsafat sesuai dengan ruang dan waktunya. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian tanpa hidupnya makhluk lain, menuntut manusia untuk bisa menjalankan berbagai peran (multi peran) dalam kehidupannya, mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah (negara).
Kehidupan seorang manusia diawali dari lingkungan keluarganya. Dalam lingkungan ini mereka mulai belajar banyak hal, mulai dari belajar berkomunikasi hingga belajar tentang tanggungjawab. Tiga pilar filsafat yaitu apa, bagaimana, dan mengapa kita melakukan sesuatu mulai dipelajarai secara sederhana dengan semangat kebersamaan dalam keluarga. Pertanyaan seorang anak kecil tentang apa, bagaimana, dan mengapa manusia mati merupakan salah satu contoh aktifitas filsafat seorang anak yang disampaikan secara lugas dan sederhana namun tidak mudah untuk menjawabnya. Pertanyaan seorang anak kecil tentang mengapa ada taman pintar tetapi tidak ada taman nakal merupakan contoh lain kegiatan filsafat seorang anak yang juga tidak mudah untuk menjawabnya. Di dalam lingkungan keluarga inilah karakter dasar anak mulai dibangun. Dorothy Law Notle, menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupannya. Anak yang dibesarkan dengan rasa takut, ia telah belajar untuk gelisah. Sebaliknya anak yang dibesarkan dengan rasa persahabatan, ia telah belajar untuk menemukan cinta dalam kehidupannya.
Level kedua kehidupan manusia adalah setelah mereka besar dan mengenal lingkungan yang lebih luas, yaitu masyarakat sekitarnya. Disini mereka sudah mulai menjalankan peran yang tidak tunggal sebagai anggota keluarga saja tetapi setidaknya perannya sudah bertambah sebagai seorang anggota masyarakat yang harus mengikuti aturan-aturan/norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal. Cara berkomunikasi dan bertanggungjawab yang diperoleh dari keluarganya mulai diterapkan dalam lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat. Lingkup kehidupannya akan semakin meluas ketika mereka mulai memasuki dunia sekolah. Mereka mulai mengenal banyak teman dari berbagai daerah dengan berbagai karakternya, hingga mungkin banyak peran-peran tambahan yang harus dilaksanakannya. Sampai disini, setidaknya 3 (tiga) peran sudah mulai dijalankan, sebagai anak dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga sekolah. Ketiganya mempunyai aturan/norma tertentu yang harus dilaksanakan. Di dalam keluarga harus mematuhi norma/aturan keluarganya, demikian pula ketika melaksanakan perannya di dalam masyarakat dan sekolah juga harus patuh terhadap norma/aturan yang berlaku di dalamnya.
Jangkauan yang lebih luas lagi adalah dalam lingkup pemerintahan/negara, mulai dari tingkat daerah (kabupaten), wilayah (provinsi), nasional, bahkan internasional. Dalam lingkup ini peran seorang manusia sebagai makhluk sosial menjadi lebih kompleks. Seseorang bisa sekaligus harus berperan sebagai kepala/anggota keluarga, ketua RT/RW dilingkungannya, sebagai pengajar, sebagai petani, dan sebagainya bisa mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada. Dalam keadaan yang demikian, kita tidak bisa menghindarinya, kecuali harus berusaha menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Di sinilah perlunya kita selalu berpikir untuk setidaknya mengatur agar multi peran yang ada bisa kita laksanakan sebaik-baiknya.
Berdasarkan uraian sederhana tersebut dapatlah disumpulkan bahwa manusia berfilsafat sejak dilahirkan untuk mengumpulkan pengetahuannya, mengajukan kritik dan menilai pengetahuannya yang akan mengantarkan kepada pemahaman dan  membawanya kepada tindakan yang lebih baik dalam hidupnya. Kegitan ini mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam ruang dan waktu tertentu, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintahan (negara) bahkan dunia (internasional). Hasil refleksi dari kegiatan berfilsafat menjadikan kita bisa menjalani hidup ini sesuai dengan ruang dan waktu yang bersesuaian. Kapan dan di mana kita harus melakukan atau tidak melakukannya selalu kita refleksi berdasarkan aturan, pengalaman, dan prinsip tertentu. Jadi, berfilsafat tidak lain adalah sebuah aktifitas untuk mendekati suatu keadaan yang disebut harmoni (setimbang) dalam kehidupan yang di dalamnya banyak peran (multi peran) yang harus dijalankan.

Sumber bacaan:
  1. Dari Langit – Kumpulan Esai Tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan, Rizal Mallarangeng, KPG (Jakarta).
  2. Revolusi Cara Belajar – The Learning Revolution (Bagian I), Dryden&Vos, KAIFA (Bandung).

Minggu, 27 November 2011

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 2: Tema Hantu dan Kematian di kelas RSBI....?

Sangat menarik dan mengejutkan apa yang dilakukan oleh para peserta didiki di kelas RSBI itu. Sangat menarik karena tema HANTU dan KEMATIAN itu menjadi alternatif cara para peserta didik di kelas itu untuk mengungkapkan rasa bosannya dengan hal-hal yang sudah biasa dilakukan. Tetapi juga mengejutkan, karena mereka justru memilih tema HANTU dan KEMATIAN.
Dengan segala keterbatasan saya mencoba memberikan gambaran tentang pemilihan tema HANTU dan KEMATIAN di salah satu kelas RSBI itu. Secara umum, HANTU adalah sebuah mahkluk halus yang menakutkan. Tema hantu mungkin berkaitan dengan perasaan takut dari para peserta didik di kelas itu terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada di dalam RSBI. Sudah tidak asing lagi bagi masyarakat bahwa RSBI adalah sebuah sekolah yang harus melaksanakan proses pembelajarannya di samping berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) juga harus menambahkan indikator tambahan, yang biasa dirumuskan sebagai SNP+X. Variabel X di sini mencakup 8 standar yang ada dalam SNP, yaitu Isi+X, SKL+X, Proses+X, Tendik+X, Sarpras+X, Pembiayaan+X, Pengelolaan+X, dan Penilaian+X. Diantara itu yang berkaitan langsung dan berakibat menakutkan bagi peserta didik adalah Proses+X dan Penilaian+X. Mereka harus mengikuti proses pembelajaran dengan bahasa pengantar bahasa inggris disamping berbasis IT. Penilaiannya juga bisa membuat peserta didik merasa takut, karena mereka harus mengikuti penilaian mulai dari level sekolah, kabupaten, provinsi, dan direktorat untuk mata pelajaran tertentu.
Tema KEMATIAN yang mereka angkat di dalam kelas mungkin menunjukan matinya penguasaan konsep dalam materi pelajaran tertentu. Hal ini sebagai akibat langsung dari diterapkannya penggunaan bahasa pengantar bahasa inggris pada mata pelajaran tertetnu. Dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia saja untuk mata pelajaran matematika sangat sulit untuk dipahami, apalagi harus dengan menggunakan bahasa pengantar (istilah) bahasa inggris.
Dalam perjalanannya, sekarang penggunaan bahasa inggris dalam proses pembelajaran sudah tidak diwajibkan lagi, terutama pada saat penanaman konsep justru harus menggunakan bahasa Indonesia.
Baca: Forum Tanya Jawab 2: Tema Hantu dan Kematian di kelas RSBI....?

Refleksi Elegi Seorang Hamba Menggapai Harmoni

Harmoni adalah suatu keadaan di dalam sebuah sistem dimana hubungan semua unsur-unsurnya berada pada keadaaan setimbang. Tidak ada kelebihan maupun kekurangan dari unsur-unsur dalam sistem, semua unsurnya proporsional. Di samping itu unsur-unsur dalam sistem itu juga bekerja secara proporsional, sesuai dengan bidang tugasnya. Dengan demikian, harmoni merupakan suatu kondisi yang idel. Setiap sistem dalam kehidupan ini terus berusaha mencapai keadaan yang harmoni. Tetapi sampai kapan pun keadaan itu tidak akan pernah bisa dicapai. Oleh karena itu, yang ada hanyalah sistem itu berusaha menuju pada keadaan harmoni.
Untuk mendekati keadaan yang harmoni tidaklah mudah, dan diperlukan landasan (dasar) yang kuat yaitu iman dan taqwa kepada Tuhan YME. Satu-satunya jalan yang bisa mendekatkan kita pada keadaan harmoni adalah memperbarui segala niat dalam menjalankan peran kita untuk kepentingan ibadah kepada Allah SWT. Untuk itu diperlukan hati dan pikiran yang jernih. Semoga kita semua senantiasa berada di bawah lindungan dan bimbingan-Nya dalam usaha mencapai harmoni hidup ini. Amiiin....

Refleksi Elegi Konferensi Daerah Imajiner

Ilmu adalah hakekat atau intisari dari segala sesuatu, meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada. Oleh karena itu ilmu sangatlah luas. Batas ilmu berada pada pikiran seorang manusia yang memikirkannya. Tiadalah seseorang dikatakan berilmu tanpa dia berusaha untuk memahaminya. Ilmu seseorang adalah sejauh mana dia berusaha memahami tentang sesuatu yang meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada. Tiadalah seseorang di dunia ini mampu memahami tentang semua yang ada dan yang mungkin ada. Yang terjadi hanyalah berusaha dan terus berusaha untuk bisa memahaminya sampai pada batas pikirannya.
Elegi ini, disamping memberikan gambaran tentang ilmu juga memberikan penjelasan bahwa terdapat banyak macam ilmu. Disamping itu juga memberikan pelajaran bahwa hidup ini harus dijalani dengan ilmu. Seseorang tidak akan bisa menjalani peran dalam hidupnya tanpa bekal yang namanya ILMU. Untuk itu kita harus senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati meningkatkannya dengan terus belajar, membaca, dan berdoa.


Baca: Elegi Konferensi Daerah Imajiner

Jumat, 25 November 2011

Refleksi Elegi Wawancara Orang Tua Berambut Putih

Saya termasuk salah satu yang pada awalnya merasakan mempelajari filsafat sangat dan belum bisa menemukan apa manfaat mempelajarinya. Dalam perjalanan mempelajarinya melalui perkuliahan lama-kelamaan perasaan itu berkurang (walaupun kesulitan itu masih tetap ada) dan saat ini mulai menemukan jawaban atas pertanyaan apa manfaat mempelajari filsafat?
Metode pembelajaran filsafat melalui elegi-elegi ini menurut saya sangat sangat efektif dan efisien dalam membangun filsafat. Hal ini dikarenakan dalam elegi-elegi tersebut sudah merepresentasikan beberapa sumber referensi, yaitu sumber pertama/primer dan kedua/sekunder (dalam elegi ini oleh Bapak disampaikan sebagai inspirasi saja) dan hasil refleksi pengalaman Bapak setelah membaca filsafat dan mengalami kehidupan langsung. Dengan demikian, pada dasarnya melalui elegi-elegi yang ada, kita bisa mempelajari filsafat dari sumber pertama, kedua, dan ketiga yang disajikan secara khas berbentuk dialog-dialog.
Setelah mengikuti perkuliahan filsafat dan membaca elegi-elegi ini menjadi lebih jelas bahwa filsafat adalah kegiatan refleksi terhadap apa yang ada dan mungkin ada dalam kehidupan ini. Filsafat sangat dekat dengan kita. Filsafat adalah hidup kita itu sendiri. Melalui belajar filsafat ini, kita menjadi lebih berani mengemukakan pendapat, menjadi lebih kritis dalam menghadapi sesuatu, dan menjadi lebih sadar akan ruang dan waktu.

Rabu, 23 November 2011

Refleksi Elegi Sang Bagawat Menggapai Kesempatan

Hidup adalah pilihan. Di dalam banyak pilihan selalu ada kesempatan untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Profesi guru adalah sebuah pilihan. Di dalam pilihan ini terdapat bayak kesempatan yang bisa kita gunakan atau tidak.  Kesempatan untuk menjadi guru yang profesional atau tidak, kesempatan menjadi guru yang memberikan kesempatan kepada peserta didiknya atau tidak, kesempatan menggunakan berbagai strategi, metode, pendekatan, dan model dalam proses pembelajarannya atau tidak, kesempatan untuk hanya datang, mengajar dan pulang atau tidak, dan masih banyak lagi kesempatan-kesempatan dalam pilihan profesi guru itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hidup kita sangat tergantung dari hidupnya orang lain. Oleh karena itu, sebenar-benar kesempatan adalah apabila kita bisa hidup dan menghidupkan orang lain. Sebenar-benar guru hidup adalah apabila bisa menghidupkan para peserta didiknya. Guru yang demikian adalah guru yang selalu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya melalui proses pembelajaran di kelasnya. Guru yang hidup dan menghidupkan adalah guru yang tidak senantiasa menutup sifat-sifat peserta didiknya dengan mengatakannya bodoh, nakal, malas dan sebagainya. Guru yang hidup dan menghidupkan adalah guru yang selalu berdoa untuk dirinya dan peserta didiknya, guru yang senantiasa belajar untuk menunjang tugas profesionalnya, guru yang selalu membaca semua yang ada dan yang mungkin ada dalam diri peserta didiknya, guru yang selalu bertanya dan bertanya.
Demikianlah sebenar-benar guru menggapai kesempatan. Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya dalam mengemban tugas profesional kita sebagai guru. Amiiin.

Baca: Elegi Sang Bagawat Menggapai Kesempatan

Selasa, 22 November 2011

Refleksi Elegi Metafisika Filsafat

Alhamdulillah...saya mendapat kesempatan membaca elegi ini...
Saya merasakan semua elegi yang sudah saya baca terdapat dalam elegi ini.
Tiga pertanyaan mendasar, yaitu Apa, Bagaimana, dan Mengapa belajar filsafat semua terdapat dalam elegi ini.
Pertanyaan "apa filsafat itu?", terjawab dari sebuah kalimat singkat dalam elegi ini, yaitu "Filsafat itu adalah refleksi" yang dalam kenyataannya bermakna sangat luas melebihi singkatnya kalimat itu.Selanjutnya pertanyaan "bagaimana seharusnya kita berfilsafat?", terjawab singkat dalam kalimat "Belajar filsafat itu tidak boleh sepotong-sepotong", yang bisa diartikan bahwa dalam berfilsafat kita harus melakukannya dengan penuh kesadaran, mendasar, dan menyeluruh dengan memperhatikan ruang dan waktu. Pertanyaan ketiga yaitu "Mengapa harus berfilsafat" terjawab dalam kalimat "orang yang telah mempelajari filsafat.... jauh lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek..."
Berdasarkan 3 pertanyaan dan jawaban dalam elegi tersebut, dapatlah dikatakan bahwa hidup dan kehidupan ini adalah filsafat.  Semua aktivtas kita dalam kehidupan ini adalah dalam rangka membangun filsafat. Agar dapat menghasilkan bangunan yang bagus maka harus kita lakukan sesuai dengan ruang dan waktu yang tepat. Dengan demikian kita berharap menjadi manusia yang lebih kritis dalam menghadapi dan memecahkan semua permasalahan hidup yang ada.
Disamping jawaban atas tiga pertanyaan mendasar tersebut, dalam elegi ini juga memberikan pelajaran yang sangat berarti dan mendasar. Dunia pembelajaran yang selama ini kita laksanakan adalah juga sebuah filsafat. Dia mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam dunia pembelajaran, meliputi input, proses, output dan lingkungan. Untuk membawa dunia pembelajaran menjadi lebih baik tidak ada jalan lain kecuali dengan selalu merefleksinya meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada yang bisa direduksi menjadi 4 komponen tersebut. Sebagai seorang guru tidaklah bijaksana melakukan proses pembelajarannya dalam ruang dan waktu yang berbeda dengan metode, strategi, pendekatan, dan model yang sama dalam proses pembelajarannya. Jika hal tersebut terjadi maka sebenarnya kita telah menjadikannya proses pembelajaran itu menjadi sebuah mitos.
Yang terakhir, elegi ini juga memberikan pelajaran dalam hidup kita agar tidak menjadi sebuah jebakan filsafat yang berarti tidak ikhlas, tidak sungguh-sungguh, palsu, menipu, pura-pura, dsb. Dari nasehat ini kita bisa merefleksi kegiatan dalam proses pembelajaran kita. Apakah terjerembab ke dalam jebakan filsafat atau tidak? Apakah kita melakukan proses pembelajaran hanya semata-mata untuk meraih hasil UN dan mengejar peringkat sekolah yang bagus? Apakah kita melakukan persiapan hanya pada saat-saat tertentu menghadapi supervisi atau monitoring evaluasi (ME)? Jika keadaanya masih demikian maka harus kita akui bahwa dunia pembelajaran kita masih terpuruk dalam jebakan filsafat.
Dalam lingkup yang lebih luas, banyak slogan-slogan yang biasa kita buat dengan makna yang bagus tapi kurang bagus dalam pelaksanaan. Kampanye tentang pendidikan karakter saat ini amatlah bagus dan mudah diucapkan dan dituangkan dalam sebuah adminitrasi pembelajaran. Tapi apakah pelaksanaan di lapangan sudah sesuai dengan yang di kampanyekan dan di tuangkan dalam administrasi? Apakah lingkungan sekitar seperti media (cetak maupun elektronik) yang biasa menjadi tontonan para peserta didik kita sudah mendukung pelaksanaan pendidikan karakter? Itu beberapa pertanyaan seputar tulisan-tulisan yang indah dan bagus diucapkan dan dituliskan tapi sangat sulit dilaksanakan.
Semoga dengan elegi ini, dan elegi-elegi yang lain kita menjadi lebih ikhlas menjalani hidup dan kehidupan ini, sehingga menjadi berkah dan mendapat rahmat dari Allah SWT, Tuhan semesta alam. Amiiin....

Kamis, 17 November 2011

Refleksi Elegi Menggapai Bahasa

Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang berfungsi untuk menyatakan ide-ide/gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran kita. Hal ini bisa dilakukan baik secara lisan maupun tertulis dengan berbagai macam bahasa, seperti analog, univokal, ekuivokal, lambang dan yang lainnya. Dalam menggunakan bahasa untukmenyatakan ide/gagasan yang ada dalam pikiran kita, seharusnya kita mempertimbangkan ruang dan waktu. Jenis bahasa tertentu mungkin cocok dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi bisa tidakcocok di dalam ruang dan waktu yang lain. Sebagai contoh, seorang guru SD tidaklah cocok apabila dalam proses pembelajarannya menggunakan bahasa simbol/lambang secara total, tetapi bagi seorang guru SMP atau SMP penyampaian dengan bahasa simbol ini mulai dibenarkan.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari elegi ini adalah bahwa kita harus bisa menyatakan ide-ide/gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran kita dengan bahasa yang tepat sesuai dengan ruang dan waktu.

Refleksi Elegi Menggapai Tidak Risau

Setiap manusia tidak bisa lepas dari perasaan risau. Semua yang ada dan yang mungkin ada bisa membuat manusia menjadi risau. Risau akan sakit, miskin, lupa, tidak lulus, berbuat dosa, mati, dan masih banyak lagi merupakan contoh dari yang ada dan yang mungkin ada yang bisa membuat manusia risau.  Dia bisa datang kapan saja dan dimana saja, saat kita beraktivitas maupun tidak, secara horisontal maupun vertikal.
Hidup manusia tiada bisa terhindar dari kerisauan. Oleh karena itu wajib hukumnya bagi setiap manusia untuk selalu berusaha menguranginya dengan anti risau. Agar berkurang risau akan sakit maka lakukan aktivitas yang bisa membuat kita sehat. Agar berkurang risau akan lupa maka teruslah mengingat dengan cara senantiasa belajar, berlatih dan melakukannya. Agar berkurang risau akan miskin maka berusahalah merasa cukup atas apa yang kita miliki. Agar berkurang risau akan mati maka lakukan persiapan sebaik-baiknya untuk menghadapinya. Agar berkurang risau akan tidak lulus maka lakukan usaha maksimal dengan cara terus belajar dan berlatih sebaik-baiknya.
Namun demikian, aktivitas anti risau itu hanyalah sebagian dari usaha kita untuk mengurangi rasa risau. Dan sebenar-benarnya hasil adalah kita tidak akan bisa menghilangkan risau itu dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita diwajibkan mengiringinya dengan senantiasa berdoa mohon petunjuk dan kekuatan kepada-Nya, karena hanya Dia lah yang kuasa untuk menolong, mengurangi, bahkan menghilangkan risau itu. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan pertolongan-Nya. Amiin.

Rabu, 16 November 2011

Elegi Pemberontakan Para Formal

Sebuah pelajaran berharga dari elegi ini adalah bahwa dalam menjalani hidup ini kita harus selalu ingat 3 hal, yaitu: 1) ruang dan waktu; 2) berpikir intensif dan ekstensif; serta 3) menggapai logos.
Dengan selalu mengingat ruang dan waktu maka kita akan bisa menempatkan diri dengan benar. Semua peran yang kita jalankan, sebagai orang tua (di rumah), sebagai guru (di sekolah), sebagai mahasiswa (di kampus) dan sebagainya harus selalu mengacu pada ruang dan waktu.
Berpikir harus dilaksanakan secara intensif, yaitu secara sungguh-sungguh dan terus menerus hingga memperoleh hasil yg optimal, dan ekstensif, yaitu menjangkau secara luas. Keduanya harus kita lakukan dalam melaksanakan multi peran kita dalam kehidupan agar kita bisa mencapai hasil maksimal dalam jangkauan yang luas.
Namun demikian, kita juga harus selalu ingat bahwa ada kalanya kita dihadapkan pada masalah-masalah yang kita tidak mampu memikirkan bahkan mencari solusinya. Dalam kondisi yang seperti ini maka kita tidak semestinya melakukan pemaksaan kehendak. Kita harus gunakan pikiran dan hati yang bersandar sepenuhnya di bawah kuasa-Nya.

Refleksi dari Elegi Pemberontakan Para Normatif

Elegi ini menggambarkan salah satu bentuk arogansi para subyek di dunia pendidikan kita terhadap obyek yang semestinya difasilitasi untuk bisa berkembang sesuai dengan potensinya (peserta didik). Fenomena Ujian Nasional (UN) dalam berbagai bentuknya (Ebtanas, UAN, dan UN) telah memberikan dampak yang luar biasa dalam dunia pendidikan kita. Secara yuridis, UN memang hanya merupakan salah satu bentuk pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah. Faktanya di lapangan, UN telah membuat semua komponen terkait menjadikannya sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Hal ini dikarenakan hasil UN menjadi penentu kelulusan peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mulai dari orang tua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, bahkan kepala daerah semua berusaha menjadikan keberhasilan UN sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan di bidangnya. Orang tua akan sangat senang dan bangga melihat hasil UN putra-putrinya yang bagus. Guru akan sangat bangga apabila bisa mengantarkan anak didiknya meraih sukses dalam UN. Kepala Sekolah akan sangat bangga ketika sekolah yang dipimpinnya mendapatkan hasil terbaik dalam UN. Kepala Dinas pun demikian. Sebaliknya mereka akan merasa sangat terpuruk apabila hasil UN tidak sesuai dengan harapannya. Dalam keadaan yang seperti ini akan terjadi sebuah kondisi yang saling menyalahkan. Guru menjadi obyek kemarahan kepala sekolahnya. Kepala sekolah menjadi obyek kemarahan kepala dinas. Kepala dinas menjadi obyek kemarahan pimpinannya, demikia seterusnya. Inilah dampak luar biasa dari fenomena UN dalam dunia pendidian kita. Proses pembelajaran yang telah berlangsung 3 atau 6 tahun sebelumnya hanya ditentukan keberhasilannya dengan UN. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang wajar apabila banyak upaya-upaya (bahkan beberapa semestinya tidak dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan)  untuk meraih sukses dalam kegiatan itu.
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan seputar pelaksanaan UN, sudah semestinya paradigma UN di ubah dan dikembalikan seperti yang tercantum dalam peraturan pemerintah, yaitu sebagai salah satu pengukuran saja yang dilakukan secara nasional. Dengan demikian UN hanya dilaksanakan sebagai salah satu bentuk standarisasi tanpa menjadikannya sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik.

Refleksi Elegi Pemberontakan Para Obyek

Semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan ini pada hakekatnya berkenaan dengan hubungan antara subyek dan obyek. Keduanya merupakan dua hal yang selalu ada dan harus ada mengiringi semua yang ada dan yang mungkin ada. Jika salah satu tidak ada maka tiadalah yang lainnya. Seseorang di sebut kaya karena ada orang lain yang disebut miskin dan sebaliknya. Seseorang dikatakan tua karena ada orang lain yang dikatakan muda, demikian seterusnya. Oleh karena itu subyek dan obyek harus melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing secara proporsional sehingga tidak saling meniadakan satu dengan lainnya. Keduanya harus saling bekerja sama. Si kaya harus membantu si miskin demikian sebaliknya, si kuat juga harus membantu si lemah, dan seterusnya.
Semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan ini bisa sekaligus menjadi subyek dan obyek bergantung pada ruang dan waktu. Sebagai contoh seorang warga yang berprofesi sebagai guru dan menjadi ketua RW serta menempuh studi lanjutan. Sebagai ketua RW dia adalah subyek dengan warga di sekitarnya sebagai obyeknya, tetapi dia sekaligus menjadi obyek bagi kepala dusunnya. Sebagai guru dia adalah subyek bagi muridnya, tetapi merupakan obyek bagi kepala sekolah dan bagi dosen di mana dia menempuh studi lanjutnya.
Elegi ini memberikan sebuah pelajaran bagi kita semua bahwa pada hakekatnya kita semua bisa berperan sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam kehidupan ini. Dan setinggi-tingginya subyek dalam kehidupan ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menguasai seluruh dunia beserta isinya. Dan setinggi-tingginya peran sebagai obyek dalam kehidupan ini adalah keinginan kita untuk terus maju dan berkembang dalam naungan ridho-Nya.

Refleksi Elegi Ketika Sekali Lagi Pikiranku Tak Berdaya

Fatamorgana merupakan sesuatu yang bersifat kabur (tidak jelas). Semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan ini bisa menjadi sebuah fatamorgana yang kita tidak akan mampu memecahkannya. Dia bisa tinggal dalam hati dan pikiran kita, ataupun di luar keduanya. Meski demikian keduanya (hati dan pikiran) tidak akan mampu memecahkan semuanya karena keterbatasan yang ada pada diri kita.
Elegi ini memberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua agar dalam menghadapi segala permasalahan hidup ini, mulai dari yang sederrhana hingga yang bersifat kompleks, hendaknya selalu bersandar dan berserah diri sepenuhnya kepada-Nya. Disamping itu elegy ini juga mengajarkan kepada kita agar senantiasa bersikap rendah diri dan tidak sombong dalam menjalani kehidupan. 

Senin, 14 November 2011

Mempertemukan logika dan pengalaman untuk membangun filsafat

Berfilsafat berarti melakukan kegiatan refleksi diri terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada. Ini berarti obyek filsafat meliputi semua yang sudah kita ketahui (lakukan) dan yang mungkin akan kita lakukan (kita ketahui/pelajari).  Oleh karena itu dalam kegiatan membangun filsafat, diperlukan luruhnya EGO yang ditandai dengan kerendahan hati untuk mengevaluasi semua yang sudah kita lakukan (ketahui), termasuk di dalamnya semua kelebihan dan kekurangannya.
Dalam kegiatan membangun filsafat, kita harus melakukannya secara menyeluruh, mendasar, dan bahkan spekulatif. Berfilsafat dilakukan secara menyeluruh, dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Membangun filsafat juga harus dilakukan secara mendasar mecakup apa? bagaimana? dan mengapa? kita melakukan dan akan melakukannya. Disamping dua hal itu, membangun filsafat juga bersifat spekulatif, artinya kita memulainya dengan sebuah spekulasi, kemudian menentukan buah pikiran yang dapat digunakan yang merupakan titik awal penjelajahan kita terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada.
Sesuai dengan hakekat membangun filsafat sebagai kegiatan refleksi diri secara menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, maka sangatlah diperlukan sebuah penalaran, yaitu suatu proses berpikir dalam menarik sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang digunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta/pengalaman.
Penalaran yang bersumber pada rasio didasarkan pada logika berpikir yang deduktif, yaitu sebuah metode penarikan kesimpulan yang mendasarkan pada premis-premis (silogisme). Contoh penalaran dengan cara ini adalah pernyataan "jika matematika itu tunggal maka tidak konsisten" yang merupakan kesimpulan dari premis 1: "jika matematika itu tunggal maka tidak lengkap" dan premis 2: "jika matematika tidak lengkap maka ia tidak konsisten".
Penalaran yang bersumber pada fakta/pengalaman didasarkan pada logika berpikir yang induktif, yaitu sebuah penarikan kesimpulan yang didasarkan pada kasus-kasus khusus (fakta-fakta/pengalaman). Kelemahan metode ini adalah tidak ada jaminan konsistensi terhadap kesimpulan yang dihasilkan. Suatu kumpulan fakta/pengalaman atau hubungan antara fakta/pengalaman belum bisa menjamin terbentuknya sebuah pengetahuan yang sistematis. 
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam membangun filsafat diperlukan sebuah sarana berpikir (penalaran) yang disebut logika, meliputi deduktif (rasio) dan induktif (fakta/pengalaman).

Baca: Salam dari Thailand