Alhamdulillah...saya mendapat kesempatan membaca elegi ini...
Saya merasakan semua elegi yang sudah saya baca terdapat dalam elegi ini.
Tiga pertanyaan mendasar, yaitu Apa, Bagaimana, dan Mengapa belajar filsafat semua terdapat dalam elegi ini.
Pertanyaan "apa filsafat itu?", terjawab dari sebuah kalimat singkat dalam elegi ini, yaitu "Filsafat itu adalah refleksi" yang dalam kenyataannya bermakna sangat luas melebihi singkatnya kalimat itu.Selanjutnya pertanyaan "bagaimana seharusnya kita berfilsafat?", terjawab singkat dalam kalimat "Belajar filsafat itu tidak boleh sepotong-sepotong", yang bisa diartikan bahwa dalam berfilsafat kita harus melakukannya dengan penuh kesadaran, mendasar, dan menyeluruh dengan memperhatikan ruang dan waktu. Pertanyaan ketiga yaitu "Mengapa harus berfilsafat" terjawab dalam kalimat "orang yang telah mempelajari filsafat.... jauh lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek..."
Berdasarkan 3 pertanyaan dan jawaban dalam elegi tersebut, dapatlah dikatakan bahwa hidup dan kehidupan ini adalah filsafat. Semua aktivtas kita dalam kehidupan ini adalah dalam rangka membangun filsafat. Agar dapat menghasilkan bangunan yang bagus maka harus kita lakukan sesuai dengan ruang dan waktu yang tepat. Dengan demikian kita berharap menjadi manusia yang lebih kritis dalam menghadapi dan memecahkan semua permasalahan hidup yang ada.
Disamping jawaban atas tiga pertanyaan mendasar tersebut, dalam elegi ini juga memberikan pelajaran yang sangat berarti dan mendasar. Dunia pembelajaran yang selama ini kita laksanakan adalah juga sebuah filsafat. Dia mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam dunia pembelajaran, meliputi input, proses, output dan lingkungan. Untuk membawa dunia pembelajaran menjadi lebih baik tidak ada jalan lain kecuali dengan selalu merefleksinya meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada yang bisa direduksi menjadi 4 komponen tersebut. Sebagai seorang guru tidaklah bijaksana melakukan proses pembelajarannya dalam ruang dan waktu yang berbeda dengan metode, strategi, pendekatan, dan model yang sama dalam proses pembelajarannya. Jika hal tersebut terjadi maka sebenarnya kita telah menjadikannya proses pembelajaran itu menjadi sebuah mitos.
Yang terakhir, elegi ini juga memberikan pelajaran dalam hidup kita agar tidak menjadi sebuah jebakan filsafat yang berarti tidak ikhlas, tidak sungguh-sungguh, palsu, menipu, pura-pura, dsb. Dari nasehat ini kita bisa merefleksi kegiatan dalam proses pembelajaran kita. Apakah terjerembab ke dalam jebakan filsafat atau tidak? Apakah kita melakukan proses pembelajaran hanya semata-mata untuk meraih hasil UN dan mengejar peringkat sekolah yang bagus? Apakah kita melakukan persiapan hanya pada saat-saat tertentu menghadapi supervisi atau monitoring evaluasi (ME)? Jika keadaanya masih demikian maka harus kita akui bahwa dunia pembelajaran kita masih terpuruk dalam jebakan filsafat.
Dalam lingkup yang lebih luas, banyak slogan-slogan yang biasa kita buat dengan makna yang bagus tapi kurang bagus dalam pelaksanaan. Kampanye tentang pendidikan karakter saat ini amatlah bagus dan mudah diucapkan dan dituangkan dalam sebuah adminitrasi pembelajaran. Tapi apakah pelaksanaan di lapangan sudah sesuai dengan yang di kampanyekan dan di tuangkan dalam administrasi? Apakah lingkungan sekitar seperti media (cetak maupun elektronik) yang biasa menjadi tontonan para peserta didik kita sudah mendukung pelaksanaan pendidikan karakter? Itu beberapa pertanyaan seputar tulisan-tulisan yang indah dan bagus diucapkan dan dituliskan tapi sangat sulit dilaksanakan.
Semoga dengan elegi ini, dan elegi-elegi yang lain kita menjadi lebih ikhlas menjalani hidup dan kehidupan ini, sehingga menjadi berkah dan mendapat rahmat dari Allah SWT, Tuhan semesta alam. Amiiin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar