Pengikut

Senin, 09 Januari 2012

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 15: Apakah Matematika Kontradiktif? (Bagian Kelima)

Kebenaran matematika menurut kaum Logicist-Formalist-Foundationalist adalah kebenaran yang terbebas dari ruang dan waktu, artinya benar bagi siapapun dan di manapun (Ruang), dan benar kapanpun (Waktu). Ini merupakan kontradiksinya kaum Logicist-Formalist-Foundationalist itu sendiri. Mengapa demikian? Karena kaum Logicist-Formalist-Foundationalist sangat memperhatikan semesta pembicaraan. Operasi 2 - 3 = ... akan ada hasilnya ketika semestanya setidaknya bilangan bulat. Demikian juga 2 x ... = 5 hanya akan ada hasilnya ketika semestanya setidaknya pada bilangan rasional. Bukankah ini bentuk keterikatannya dengan ruang? Jadi, sebenarnya kebenaran matematika itu tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu. 

Jumat, 06 Januari 2012

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 14: Apakah Matematika Kontradiktif? (Bagian Keempat)

Di dalam dunia seutuhnya hanya terdapat Dua Prinsip Hakekat, yaitu PRINSIP IDENTITAS dan PRINSIP KONTRADIKSI. Sedangkan dunia seutuhnya itu meliputi dimensi ruang dan waktu. Jadi, KONTRADIKSI di dalam dunia yang terbebas dari ruang dan waktu, bisa BUKAN KONTRADIKSI di dalam dunia seutuhnya, yaitu dunia yang terikat oleh ruang dan waktu. 

Kamis, 05 Januari 2012

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 13: Apakah Matematika Kontradiktif? (Bagian Ketiga)

Membangun dunia matematika harus dilakukan secara mendalam dan seluas-luasnya.
Dunia Matematika yang dibangun kaum Logicist-Formalist-Foundationalist "barulah mencakup SEPARO DUNIA" atau bahkan menurut saya mungkin baru SEPERTIGA-nya, yaitu dunia matematika DEWASA. Dunia matematika anak-anak dan remaja tidak tersentuh di dalamnya. Dalam konteks membangun dunia matematika sangatlah penting memperhatikan hal tersebut. 

Baca: Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 13: Apakah Matematika Kontradiktif? (Bagian Ketiga)

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 12: Apakah Matematika Kontradiktif? (Bagian kedua)

"SETIAP UNSUR PEMBENTUK SISTEM MATEMATIKA TERNYATA BERSIFAT KONTRADIKTIF. Anehnya, unsur-unsur kontradiktif demikian telah berhasil membangun Sistem Matematika yang diklaim oleh Logicist-Formalist-Foundationalist sebagai KONSISTEN dan TIDAK KONTRADIKTIF."
Hal itu terjadi karena adanya SEMESTA PEMBICARAAN dalam sistem matematika. Oleh karenanya sangatlah penting memperhatikan semesta pembicaraan dalam matematika, dan ini mencakup dimensi RUANG dan WAKTU.
Baca: Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 12: Apakah Matematika Kontradiktif? (Bagian kedua)

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 11: Apakah Matematika Kontradiktif ? (Bagian Kesatu)

Kekonsistenan matematika terhadap dirinya sendiri hanya terjadi apabila dimensi ruang dan waktu ditiadakan darinya. Tetapi dengan menambahkan dimensi ruang dan waktu, bisa terjadi kontradiksi dalam sistem dalam matematika. 
Baca: Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 11: Apakah Matematika Kontradiktif ? (Bagian Kesatu)

Refleksi Elegi Menggapai Sumber Bacaan_Makalah_Penelitian_Pengabdian Masyarakat_tentang Matematika_Pendidikan Matematika_dan Filsafat

Referensi sangat penting dalam pembuatan karya tulis. Semua sumber bacaan, dari buku maupun internet dapat digunakan sebagai referensi sepanjang tetap menyebutkan penulisnya. Inilah pelajaran (pesan) terpenting dari elegi ini. Terima kasih... 

Baca: Elegi Menggapai Sumber Bacaan_Makalah_Penelitian_Pengabdian Masyarakat_tentang Matematika_Pendidikan Matematika_dan Filsafat

Sabtu, 31 Desember 2011

Refleksi Forum Tanya Jawab 14: Filsafat Pendidikan Matematika

Objek formal  matematika adalah berupa benda-benda pikir mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Benda-benda ini dapat diperoleh dari benda konkret melalui abstraksi, yaitu kegiatan berpikir yang hanya memandang sifat-sifat tertentu saja dari benda/obyek yang dipikirkan atau dipelajari, dan melalui idealisasi, yaitu kegiatan berpikir yang memandang sempurna semua sifat yang ada dari benda/obyek yang dipikirkan.
Objek material matematika adalah benda-benda yang berada di lingkungan atau sekitar kita, dapat berupa benda-benda konkret, gambar atau model kubus, berwarna-warni lambang bilangan besar atau kecil, kolam berbentuk persegi, atap rumah berbentuk limas, piramida-piramida di Mesir, kuda-kuda atap rumah berbentuk segitiga siku-siku, roda berbentuk lingkaran, dan sebagainya. Secara material, kita dapat memikirkan kubus yang besar, kubus kecil, kubus yang berwarna-warni, dan seterusnya.

Kamis, 29 Desember 2011

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 8: Architectonic Mathematics (1)

Membangun pengetahuan matematika bagi peserta didik harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat perkembangan intelektualnya. Inilah yang dimaksud dengan matematika sekolah. Membangun pengetahuan peserta didik jenjang SD berbeda dengan peserta didik pada jenjang SMP, dan berbeda pula pada peserta didik pada jenjang SMA. Tataran untuk ketiga jenjang itu harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik pada masing-masing jenjang. Membangun pengetahuan matematika pada jenjang SD tidak bisa menggunakan cara-cara untuk jenjang SMP maupun SMA, demikian sebaliknya. Jadi, matematika sekolah sangatlah terikat oleh ruang dan waktu.

Rabu, 28 Desember 2011

Refleksi Forum Tanya Jawab 17: Menemukan bahwa Filsafat adalah Diriku

Filsafat adalah sebuah kegiatan berpikir (olah pikir) dengan obyek mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan. Semua yang ada mencakup semua yang sudah dan sedang terjadi, sedangkan semua yang mungkin ada mencakup sesuatu yang akan/mungkin terjadi.
Memikirkan semua yang ada tidak lain adalah sebuah refleksi dari yang sedang dan telah terjadi / dilakukan, dengan tujuan untuk memperbaiki/menjadikannya lebih baik di masa yang akan datang (yang mungkin ada).
Selama kita hidup, selama itu pula kita berpikir sesuai dengan dimensi masing-masing. Selama kita berpikir, selama itu pula kita berfilsafat. Jadi, filsafat tidak lain adalah diri kita itu sendiri. 

Refleksi Forum Tanya Jawab 16: Sintesis Hati dan Pikiran

Salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya adalah dikaruniainya akal/pikiran. Dengan karunia itu manusia punya kemampuan untuk berpikir/memikirkan semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupannya. Melalui proses berpikir inilah manusia bisa mencari, menemukan, memahami sesuatu,  membuat pertimbangan dan keputusan tentang sesuatu yang dipikirkannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka hasil akhir sebuah proses berpikir (keputusan/kesimpulan) harus melalui sebuah tahapan yang disebut menimbang. Pada tahan inilah diperlukan peran dari yang lain agar diperoleh sebuah kepuutusan/kesimpulan yang "baik". Inilah sebenar-benarnya fungsi hati, yaitu untuk memberikan masukan kepada pikiran tentang apakah sesuatu yang dipikirkan itu baik atau tidak menurut hati. 

Baca: Forum Tanya Jawab 16: Sintesis Hati dan Pikiran

Senin, 26 Desember 2011

Refleksi Sekolah Bertaraf Internasional : Sebuah Epistemology

Perjalanan RSBI menuju SBI saat ini masih sangat jauh dari yang diamanatkan oleh peraturan pemerintah yang mendasari penyelenggaraan SBI pada jenjang yang bersesuaian.

Hal yang paling menonjol dari perjalanan tersbut adalah penyiapan sarana dan prasarana sekolah. Ini memang sangat penting, tetapi menurut saya RSBI/SBI bukanlah sekolah dengan bangunan megah dan fasilitas mewah.

Dalam perjalanannya menuju SBI, ruh dari sekolah yaitu "kurikulum" dan "proses pembelajaran" hampir belum ada yang melaksanakannya sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan yang ada, yaitu kurikulum yang diperkaya dengan standar dari negara OECD atau negara maju lainnya, serta proses yang berbasis IT, aktif, kreatif, menyenangkan dan kontekstual.

Apalah artinya bangunan megah dan fasilitas mewah jika ruhnya diabaikan (kurang / tidak mendapat perhatian yang lebih)?

Jadi, apapun nama/istilahnya (Rintisan, Potensial, SSN, ataupun RSBI/SBI) yang paling utama adalah niat dan komitmen dari semua komponen terkait, yaitu pemerintah, sekolah (Kepala Sekolah, tenaga pendidik dan kependidikan), dan masyarakat (komite) untuk bersama-sama membangun kinerja sekolah yang berwawasan internasional dengan basis budaya lokal.
Terima kasih, dan mohon maaf atas kekurangan yang ada.

Rabu, 21 Desember 2011

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 44: Orang Paling Seksi Di Dunia

Jawaban atas pertanyaan: apakah "seksi" itu?, mungkin bisa sebanyak orang yang menjawabnya. Menurut saya orang yang paling "seksi" secara filsafat adalah mereka yang bisa menggunakan ke"seksi"annya dalam ruang dan waktu yang tepat.

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 42: Filsuf Tak Mampu Melarikan Diri

Selama manusia hidup, selama itu pula dia menggunakan akal/pikirannya untuk berpikir. Selama dia berpikir selama itu pula dia berfilsafat. Jadi, selama kita hidup di dunia ini, selama itu pula kita tidak akan lepas dari filsafat.

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 41: Anti Filsafat

Filsafat merupakan kegiatan berpikir untuk merefleksi semua yang ada dan yang mungkin ada. Semua yang ada di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan yang satu merupakan lawan dari lainnya. Siang dan malam, laki dan perempuan, besar dan kecil, tinggi dan rendah, besar dan kecil, sehat dan sakit, susah dan bahagia, dan masih banyak lagi yang lain. Semua itu merupakan contoh tesis dan anti tesisnya. Dan sebenar-benar anti tesis adalah juga tesis. Oleh karena itu sebenar-benar anti filsafat adalah juga filsafat. Trima kasih

Selasa, 20 Desember 2011

DIRIKU, MATEMATIKA, PENDIDIKAN, DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF RUANG DAN WAKTU


A.        Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang dikaruniai pikiran. Inilah salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya. Dengan karunia itu manusia memiliki kemampuan untuk berpikir mengenai semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupannya. Manusia memiliki kemampuan “meragukan” segala sesuatu, mampu ”bertanya”, mampu ”menghubungkan” gagasan-gagasan,  dan mampu membuat sebuah ”kesimpulan” dalam kegiatan berpikirnya. Dengan kemampuan berpikir ini manusia mampu membangun dan mengembangkan pengetahuannya. Untuk keperluan inilah semua manusia memerlukan matematika dan pendidikan. Begitu diperlukannya matematika dalam kehidupan, maka seorang ibu sudah mulai mengenalkan matematika kepada putra-putrinya sejak bayi. Seorang ibu yang sedang menggendong bayinya yang mungkin masih berumur 1 tahun atau bahkan kurang dari itu mulai mengajarkan pengetahuan sederhana kepada bayinya. Yang pertama diajarkannya adalah pengetahuan tentang ”bahasa” melalui panggilan-panggilan untuk orang-orang terdekatnya, seperti ”ayah/bapak/papa”, ”ibu/mama”, ”kakak/adik”, mbah/eyang” dan sebagainya. Selanjutnya yang kedua diajarkan seorang ibu kepada bayinya adalah ”matematika” melalui pengenalan bilangan ”satu, dua, tiga” atau ”setunggal, kalih, tigo” dan seterusnya. Setelah dua ha tersebut, yaitu ”bahasa” dan ”matematika” baru kemudian sang bayi akan diajarkan hal-hal lainnya. Sejak itulah manusia mulai mengenyam pendidikannya sebelum ia mengenyam pendidikan secara formal (di sekolah) maupun non formal di dalam masyarkat. Dengan demikian, sejak manusia dilahirkan, sejak itu pula mulai menggunakan pikirannya untuk berpikir dalam rangka membangun dan mengembangkan pengetehuannya untuk mencapai tujuan hidupnya. Itulah sebenarnya perjalanan filsafat seorang manusia sesuai dengan dimensi ruang dan waktunya.

B.        Diriku Dan Filsafat
Filsafat adalah sebuah kegiatan “refleksi", yang dalam kenyataannya bermakna sangat luas melebihi singkatnya kalimat itu. Luasnya makna filsafat tidak terlepas dari obyek filsafat itu, yaitu semua yang ada dan yang mungkin ada. Refleksi terhadap semua yang ada menjadi bahan pertimbangan untuk tindakan selanjutnya (yang mungkin ada). Hasil refleksi dari kegiatan berfilsafat menjadikan kita lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek lebih dari sekedar yang kita lihat. Kapan dan di mana kita harus melakukan atau tidak melakukannya selalu kita refleksi berdasarkan aturan, pengalaman, dan prinsip tertentu. Jadi, berfilsafat tidak lain adalah sebuah aktifitas untuk mendekati suatu keadaan yang disebut harmoni (setimbang) dalam kehidupan. Agar kegiatan refleksi itu membuahkan hasil yang baik dan bermanfat, maka dalam berfilsafat (refleksi) harus dilakukan secara total, yaitu dengan penuh kesadaran, mendasar, dan menyeluruh dengan memperhatikan ruang dan waktu.
Selama hidupnya setiap manusia pasti berpikir. Hasil pikirannya bisa berupa ucapan, tulisan, maupun perbuatan atau tindakan. Agar buah pikiran itu bergerak menuju ke yang lebih baik seiring dengan berubahnya ruang dan waktu, mutlak diperlukan sebuah refleksi dalam ruang dan waktu yang bersesuaian. Dengan demikian dalam hidup dan kehidupannya manusia tidak bisa lepas dari filsafat. Diriku, sebagai bagian dari itu pun dalam hidup dan kehidupan ini tidak bisa lepas dari filsafat. Apa yang saya pikirkan, ucapkan, tulis, dan lakukan tidak lain adalah perjalanan filsafat sesuai dengan dimensi yang ada. Diriku adalah subyek sekaligus obyek dalam filsafat. Sebagai subyek karena terkait langsung dengan kegiatan berpikir yang tidak lain adalah filsafat itu sendiri, sedangkan sebagai obyek karena merupakan salah satu bagian kecil dari obyek filsafat yang mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada.

C.        Matematika dan Filsafat
Matematika dan filsafat memiliki hubungan yang cukup erat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Filsafat merupakan dasar untuk mempelajari ilmu dan matematika merupakan ratu sekligus pelayan dari ilmu. Keduanya juga sama-sama bersifat apriori, mempunyai obyek abstrak (di alam pikir) dan tidak eksperimentalis, disamping itu hasil dari keduanya tidak memerlukan bukti secara fisik.
Pertanyaan sederhana tentang “apakah matematika itu?” adalah salah satu contoh pertanyaan filsafat yang berkaitan dengan hakekat atau ontologi. Jawaban atas pertanyaan itu tidak tunggal. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan itu adalah sebanyak yang menjawabnya. Namun demikian, beragamnya jawaban itu dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) aliran sesuai dengan hasil pemikiran para ahli (flsuf) yang sudah sejak abad 19 yang lalu memikirkannya. Ketiga aliran itu adalah: 1) Formalism, yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) seorang matematikawan Jerman. Bagi pengikut aliran ini, matematika merupkan sebuah pengethuan tentang struktur formal dari lambang (simbol). Aliran ini menekankan konsistensi matematika sebagai bahasa simbol; 2) Logicism, yang berpendapat bahwa semua matematika dapat diturunkan dari prinsip-prinsip logika. Dengan kata lain, aliran ini mengatakan bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang benar atau salahnya dapat ditentukan tanpa bukti empiris. Tokoh dalam aliran ini yang juga seorang ahli filsafat disamping matematikawan adalah Bertrand Russel (1872-1970) dan Alfred North Whitehead (1861-1947), berasal dari Inggris; 3) Intuisionism, dengan tokoh seorang matematkawan Belanda Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881-1966). Menurut pengikut aliran ini, matemtika berasl dan berkembng did lam pikiran manusia. Aliran ini sejalan dengan pendapat Imanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan bahwa mateatika merupakan pengetahuan yang eksistensinya tergantung pada pengalaman.

D.        Pendidikan dan Filsafat
Pendidikan sudah dilakukan sejak kita berada dalam lingkungan keluarga, mulai dari belajar berkomunikasi hingga belajar tentang tanggungjawab. Tiga pilar filsafat yaitu apa, bagaimana, dan mengapa kita melakukan sesuatu sudah mulai dipelajarai secara sederhana dengan semangat kebersamaan dalam lingkungan keluarga. Pertanyaan seorang anak kecil tentang apa, bagaimana, dan mengapa seseorang bisa sakit adalah salah satu contoh pertanyaan filsafat seorang anak yang disampaikan secara lugas dan sederhana namun tidak mudah untuk menjawabnya. Pendidikan di lingkungan keluarga ini menyiapkan kita untuk mengikuti pendidikan di level berikutnya, yaitu di lingkungan masyarakat sekitar secara formal (sekolah) ataupun non formal (di luar sekolah). Di dalam dua lingkungan itulah sebenarnya kita menempuh pendidikan, disamping secara formal melalui bangku sekolah yang hanya sebentar dan sangat terbatas.
Secara formal, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian ini tampak bahwan di dalamnya memuat faktor-faktor yang menunjukkan adanya aktifitas berfilsafat, yaitu usaha sadar, mengembangkan potensi diri, pengendalian diri, kepribadian, dan spiritual keagamaan. Pendidikan tidak lain adalah sebuah aktifitas seseorang berfilsafat dengan tujuan mengembangkan potensi diri agar memiliki kekuatan spiritual, kepribadian, dan kemampuan mengendalikan diri.
Pendidikan secara fomal memiliki 4 (empat) pilar, yaitu: 1) belajar untuk memahami; 2) belajar untuk berbuat kreatif; 3) belajar untuk hidup bersama; dan 4) belajar untuk membangun dan mengekspresikan jati diri. Pilar pertama yaitu memahami, memuat makna bahwa belajar harus mampu menjawab 3 pertanyaan mendasar: apa?, bagaimana?, dan mengapa? yang tidak lain dalam filsafat kita kenal sebagai ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pilar kedua yaitu kreatif, menyiratkan bahwa salah satu hasil belajar adalah dimilikinya daya cipta (kemampuan untuk menciptakan) sebagai penerapan dari apa yang telah dipelajarinya. Pilar yang ketiga adalah hidup bersma, menyiratkan bahwa disamping memiliki daya cipta, hasil belajar juga harus meningkatkan kemampuan seseorang untuk hidup bersama dalam masyarakat luas, saling membantu, menghargai antara satu anggota dengan anggota masyarakat lainnya. Yang terakhir, hasil belajar terlihat dari terbangunnya jati diri pebelajar sesuai dengan pilar keempat yaitu membangun dan mengekspresikan jati diri. Dengan jati diri yang kuat, akan memperkokoh fondasi bangsa, sehingga tidak akan mudah ”dijajah” oleh bangsa lain, karena memiliki karakter pribadi dan budaya yang kuat. 
Seperti halnya manusia dan filsafat, matematika dan filsafat, pendidikan dan filsafat juga merupakan dua hal yang tidak bisa sling lepas. Pendidikan mutlak membutuhkan dasar filosofis. Dengan dasar filosofis yang kuat dan jelas, akan memperjelas arah dan tujuan yang akan dicapai dalam pendidikan, sehingga prosesnya pun tidak akan menyimpang dari arah dan tujuan yang akan dicapai. Pendidikan tanpa dasar filosofis dapat diibaratkan seperti seseorang yang berjalan ditempat yang asing dalam keadaan gelap, sehingga besar kemungkinan akan melewati jalan-jalan yang semestinya tidak dilewati. Jika hal itu terjadi dalam dunia pendidikan, maka yang timbul adalah ”perampasan” hak-hak peserta didik untuk memahami, kreatif, hidup bersama dan membangun jati dirinya. Sebaliknya dalam berfilsafat juga dibutuhkan pendidikan. Tanpa pendidikan, kegiatan berfilsafat kita bisa masuk dalam ruang dan waktu yang salah/tidak sesuai, yang bisa mengakibatkan diperolehnya hasil yang tidak lebih baik dari sebelumnya sesuai dengan tujuan berfilsfat.

Datar Bacaan:
  1. Depdiknas. 2002. Ilmu Filsafat. Dirjen Dikdasmen-Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis. Jakarta. 
  2. -------------. 2004. Matematika (Materi Pelatihan Terintegrasi). Dirjen Dikdasmen-Direktorat Pendidikan Lanjutan pertama. Jakarta. 
  3. Marsigit. Hubungan antara Filsafat dan Matematika. http://marsigitphilosophy.blogspot.com/2008/12/hubungan-antara-filsafat-dan-matematika.html, diakses tanggal 12 Desember 2011

Baca di: Salam dari Thailand

Jumat, 16 Desember 2011

Refleksi Elegi SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN

Begitu kompleks permaslahan di dunia pendidikan kita, mulai dari peraturan-peraturan pemerintah yang lingkupnya terlalu sempit dan/atau bahkan tidak releven, optimalisasi peningkatan kualitas pendidikan, efektifitas kinerja lembaga-lembaga pendidikan, hingga masalah kesejahteraan guru/dosen sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan di lapangan.
Proses perbaikan dan/penyelesaian permasalahan tersebut harus secara terus menerus dilakukan oleh semua pihak yang terkait langsung dengan dunia pendidikan. Peraturan-peraturan pemerintah sebagai payung hukum harus menjadi prioritas utama sebelum menyentuh perbaikan di bidang lainnya. Setelah itu baru lembaga-lembaga terkait menjadi target perbaikan dan akhirnya para pelaku langsung melaksanakannya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan peraturan yang ada.
Khusus untuk nama (lembaga atau yang lainnya) menurut saya tidak terlalu pokok untuk diubah atau tidak diubah namanya. Nama sebaik apa pun tidak akan mengatasi masalah yang ada apabila tidak diikuti dengan program-program dan tindakan-tindakan yang kurang mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Nama KTSP bisa saja tidak di ubah, tetapi orientasinya seperti yang ada dalam surat terbuka ini. Demikian pula nama MGMP tidak harus diganti, tetapi program dan kegiatannya yang mesti diperbaiki, untuk menunjang efektifitas peningkatan mutu yang bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah "niat" dari para pelaku langsung untuk berubah dan terus berubah menjadi yang lebih baik. Niat atau kemauan untuk berubah menuju yang lebih baik dari para pelaku langsung inilah sebenarnya yang menjadi kunci utama penyelesaian berbagai permaslahan di dalam dunia pendidikan kita. Tanpa hal itu, perubahan/perbaikan peraturan pemerintah dan lembaga terkait dalam dunia pendidikan akan menjadi formalitas belaka.