Pengikut

Rabu, 30 November 2011

Refleksi Elegi Menggapai Kenyataan

Kenyataannya kita harus siap menghadapi kenyataan yang ada, yaitu semua yang bisa kita lihat dan kita rasakan dengan indera yang kita punya, mencakup semua yang sudah dan sedang terjadi. Kenyataan yang sudah terjadi adalah sebuah sejarah dan setiap manusia termasuk kita semua punya sejarah. Kenyataannya tidak semua yang kita pikirkan bisa menjadi kenyataan. Oleh karena itulah kita harus siap menerima kenyataan yang sudah, sedang dan akan terjadi Kenyataan yang sudah dan sedang terjadi merupakan sumber refleksi bagi kita untuk selalu berpikir mengumpulkan pengetahuan sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Inilah yang disebut dengan harapan, yaitu sesuatu yang masih kita pikirkan. Apakah di waktu yang akan datang yang kita pikirkan itu akan benar-benar terwujud atau tidak saat ini kita tidak pernah bisa menjawabnya. Sebuah harapan yang kelak benar-benar terwujud sesuai yang kita pikirkan itulah yang disebut dengan kenyataan. Jika sebaliknya, maka kenyataanya tidak sesuai dengan harapan kita.
Setiap manusia pasti mempunyai harapan, tetapi tidak akan pernah bisa menjaminnya menjadi sebuah kenyataan. Oleh karena itu, sebenar-benar yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha untuk mewujudkan harapan kita menjadi sebuah kenyataan dengan senantiasa selalu diiringi doa yang bersandar dan berlindung total di bawah kuasa-Nya, satu-satunya yang dapat menjadikan harapan kita menjadi sebuah kenyataan atau tidak.

Selasa, 29 November 2011

Refleksi dari Elegi Menggapai Penampakkan

Penampakan adalah sesuatu yang kita lihat atau kita pikirkan. Dia bisa mencakup semua yang ada (untuk dilihat) dan yang mungkin ada (untuk dipikirkan). Dia bersifat terbuka sekaligus tertutup. Dia terbuka apabila hanya kita lihat atau pikirkan saja tanpa diucapkan. Sebaliknya dia akan menjadi tertutup apabila kita tidak hanya melihat atau memikirkan, tetapi juga mengucapkannya.
Sebenar-benar penampakan diri kita adalah diri kita sendiri pada batas penglihatan dan pikiran kita. Itulah sebenar-benar pengetahuan (ilmu) kita yang sangat terbatas. Tiadalah kita dapat melihat semua yang ada dan memikirkan semua yang mungkin ada.
Elegi ini memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak sombong dalam memperluas pengetahuan (ilmu). Dalam nasehat bijak orang Jawa biasa dikatakan dengan kalimat "aja rumangsa bisa nanging bisa a rumangsa" (janganlah merasa bisa tapi bisalah merasa). Inilah setinggi-tinggi pengetahuan (ilmu) kita, yaitu ketika secara sadar kita mengakui bahwa sebenarnya kita tidak bisa apa-apa selain hanya berusaha untuk mendekatinya.

Senin, 28 November 2011

Refleksi Elegi Perbincangan Bukan Benar dan Bukan Salah

Benar dan salah adalah dua hal yang saling berlawanan yang melekat sebagai predikat bagi semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan, sebagai obyek kajian filsafat. Kebenaran bagi semua yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini bersifat relatif terhadap ruang dan waktu. Benar menurut seseorang di dunia ini bisa menjadi bukan benar bagi seseorang lainnya, sebaliknya salah menurut seseorang di dunia ini bisa jadi bukan salah untuk seseorang lainnya. Inilah mengapa benar, salah, bukan benar, dan bukan salah di dunia ini bersifat relatif terhadap ruang dan waktu. Kebenaran mutlak hanyalah di tangan Allah Tuhan semesta alam.

Filsafat Dalam Perspektif Lintas Kehidupan

Kegiatan filsafat merupakan refleksi, yaitu sebuah kegiatan berpikir yang mencakup kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan-gagasan,  menanyakan ”mengapa” mencari jawaban yang lebih baik daripada jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai kegiatan refleksi mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Dapat dikatakan bahwa kegiatan filsafat mencakup 3 (tiga) hal pokok, yaitu: mempelajari aturan, bergantung pada pengalaman, dan mengikuti prinsip atau aturan tertentu.
Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai pikiran tidak bisa terlepas dari kegiatan filsafat. Sejak manusia lahir telah dikaruniai pikiran. Oleh karenanya sejak saat itulah manusia mulai berfilsafat sesuai dengan ruang dan waktunya. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian tanpa hidupnya makhluk lain, menuntut manusia untuk bisa menjalankan berbagai peran (multi peran) dalam kehidupannya, mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah (negara).
Kehidupan seorang manusia diawali dari lingkungan keluarganya. Dalam lingkungan ini mereka mulai belajar banyak hal, mulai dari belajar berkomunikasi hingga belajar tentang tanggungjawab. Tiga pilar filsafat yaitu apa, bagaimana, dan mengapa kita melakukan sesuatu mulai dipelajarai secara sederhana dengan semangat kebersamaan dalam keluarga. Pertanyaan seorang anak kecil tentang apa, bagaimana, dan mengapa manusia mati merupakan salah satu contoh aktifitas filsafat seorang anak yang disampaikan secara lugas dan sederhana namun tidak mudah untuk menjawabnya. Pertanyaan seorang anak kecil tentang mengapa ada taman pintar tetapi tidak ada taman nakal merupakan contoh lain kegiatan filsafat seorang anak yang juga tidak mudah untuk menjawabnya. Di dalam lingkungan keluarga inilah karakter dasar anak mulai dibangun. Dorothy Law Notle, menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupannya. Anak yang dibesarkan dengan rasa takut, ia telah belajar untuk gelisah. Sebaliknya anak yang dibesarkan dengan rasa persahabatan, ia telah belajar untuk menemukan cinta dalam kehidupannya.
Level kedua kehidupan manusia adalah setelah mereka besar dan mengenal lingkungan yang lebih luas, yaitu masyarakat sekitarnya. Disini mereka sudah mulai menjalankan peran yang tidak tunggal sebagai anggota keluarga saja tetapi setidaknya perannya sudah bertambah sebagai seorang anggota masyarakat yang harus mengikuti aturan-aturan/norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal. Cara berkomunikasi dan bertanggungjawab yang diperoleh dari keluarganya mulai diterapkan dalam lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat. Lingkup kehidupannya akan semakin meluas ketika mereka mulai memasuki dunia sekolah. Mereka mulai mengenal banyak teman dari berbagai daerah dengan berbagai karakternya, hingga mungkin banyak peran-peran tambahan yang harus dilaksanakannya. Sampai disini, setidaknya 3 (tiga) peran sudah mulai dijalankan, sebagai anak dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga sekolah. Ketiganya mempunyai aturan/norma tertentu yang harus dilaksanakan. Di dalam keluarga harus mematuhi norma/aturan keluarganya, demikian pula ketika melaksanakan perannya di dalam masyarakat dan sekolah juga harus patuh terhadap norma/aturan yang berlaku di dalamnya.
Jangkauan yang lebih luas lagi adalah dalam lingkup pemerintahan/negara, mulai dari tingkat daerah (kabupaten), wilayah (provinsi), nasional, bahkan internasional. Dalam lingkup ini peran seorang manusia sebagai makhluk sosial menjadi lebih kompleks. Seseorang bisa sekaligus harus berperan sebagai kepala/anggota keluarga, ketua RT/RW dilingkungannya, sebagai pengajar, sebagai petani, dan sebagainya bisa mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada. Dalam keadaan yang demikian, kita tidak bisa menghindarinya, kecuali harus berusaha menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Di sinilah perlunya kita selalu berpikir untuk setidaknya mengatur agar multi peran yang ada bisa kita laksanakan sebaik-baiknya.
Berdasarkan uraian sederhana tersebut dapatlah disumpulkan bahwa manusia berfilsafat sejak dilahirkan untuk mengumpulkan pengetahuannya, mengajukan kritik dan menilai pengetahuannya yang akan mengantarkan kepada pemahaman dan  membawanya kepada tindakan yang lebih baik dalam hidupnya. Kegitan ini mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam ruang dan waktu tertentu, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintahan (negara) bahkan dunia (internasional). Hasil refleksi dari kegiatan berfilsafat menjadikan kita bisa menjalani hidup ini sesuai dengan ruang dan waktu yang bersesuaian. Kapan dan di mana kita harus melakukan atau tidak melakukannya selalu kita refleksi berdasarkan aturan, pengalaman, dan prinsip tertentu. Jadi, berfilsafat tidak lain adalah sebuah aktifitas untuk mendekati suatu keadaan yang disebut harmoni (setimbang) dalam kehidupan yang di dalamnya banyak peran (multi peran) yang harus dijalankan.

Sumber bacaan:
  1. Dari Langit – Kumpulan Esai Tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan, Rizal Mallarangeng, KPG (Jakarta).
  2. Revolusi Cara Belajar – The Learning Revolution (Bagian I), Dryden&Vos, KAIFA (Bandung).

Minggu, 27 November 2011

Refleksi dari Forum Tanya Jawab 2: Tema Hantu dan Kematian di kelas RSBI....?

Sangat menarik dan mengejutkan apa yang dilakukan oleh para peserta didiki di kelas RSBI itu. Sangat menarik karena tema HANTU dan KEMATIAN itu menjadi alternatif cara para peserta didik di kelas itu untuk mengungkapkan rasa bosannya dengan hal-hal yang sudah biasa dilakukan. Tetapi juga mengejutkan, karena mereka justru memilih tema HANTU dan KEMATIAN.
Dengan segala keterbatasan saya mencoba memberikan gambaran tentang pemilihan tema HANTU dan KEMATIAN di salah satu kelas RSBI itu. Secara umum, HANTU adalah sebuah mahkluk halus yang menakutkan. Tema hantu mungkin berkaitan dengan perasaan takut dari para peserta didik di kelas itu terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada di dalam RSBI. Sudah tidak asing lagi bagi masyarakat bahwa RSBI adalah sebuah sekolah yang harus melaksanakan proses pembelajarannya di samping berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) juga harus menambahkan indikator tambahan, yang biasa dirumuskan sebagai SNP+X. Variabel X di sini mencakup 8 standar yang ada dalam SNP, yaitu Isi+X, SKL+X, Proses+X, Tendik+X, Sarpras+X, Pembiayaan+X, Pengelolaan+X, dan Penilaian+X. Diantara itu yang berkaitan langsung dan berakibat menakutkan bagi peserta didik adalah Proses+X dan Penilaian+X. Mereka harus mengikuti proses pembelajaran dengan bahasa pengantar bahasa inggris disamping berbasis IT. Penilaiannya juga bisa membuat peserta didik merasa takut, karena mereka harus mengikuti penilaian mulai dari level sekolah, kabupaten, provinsi, dan direktorat untuk mata pelajaran tertentu.
Tema KEMATIAN yang mereka angkat di dalam kelas mungkin menunjukan matinya penguasaan konsep dalam materi pelajaran tertentu. Hal ini sebagai akibat langsung dari diterapkannya penggunaan bahasa pengantar bahasa inggris pada mata pelajaran tertetnu. Dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia saja untuk mata pelajaran matematika sangat sulit untuk dipahami, apalagi harus dengan menggunakan bahasa pengantar (istilah) bahasa inggris.
Dalam perjalanannya, sekarang penggunaan bahasa inggris dalam proses pembelajaran sudah tidak diwajibkan lagi, terutama pada saat penanaman konsep justru harus menggunakan bahasa Indonesia.
Baca: Forum Tanya Jawab 2: Tema Hantu dan Kematian di kelas RSBI....?

Refleksi Elegi Seorang Hamba Menggapai Harmoni

Harmoni adalah suatu keadaan di dalam sebuah sistem dimana hubungan semua unsur-unsurnya berada pada keadaaan setimbang. Tidak ada kelebihan maupun kekurangan dari unsur-unsur dalam sistem, semua unsurnya proporsional. Di samping itu unsur-unsur dalam sistem itu juga bekerja secara proporsional, sesuai dengan bidang tugasnya. Dengan demikian, harmoni merupakan suatu kondisi yang idel. Setiap sistem dalam kehidupan ini terus berusaha mencapai keadaan yang harmoni. Tetapi sampai kapan pun keadaan itu tidak akan pernah bisa dicapai. Oleh karena itu, yang ada hanyalah sistem itu berusaha menuju pada keadaan harmoni.
Untuk mendekati keadaan yang harmoni tidaklah mudah, dan diperlukan landasan (dasar) yang kuat yaitu iman dan taqwa kepada Tuhan YME. Satu-satunya jalan yang bisa mendekatkan kita pada keadaan harmoni adalah memperbarui segala niat dalam menjalankan peran kita untuk kepentingan ibadah kepada Allah SWT. Untuk itu diperlukan hati dan pikiran yang jernih. Semoga kita semua senantiasa berada di bawah lindungan dan bimbingan-Nya dalam usaha mencapai harmoni hidup ini. Amiiin....

Refleksi Elegi Konferensi Daerah Imajiner

Ilmu adalah hakekat atau intisari dari segala sesuatu, meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada. Oleh karena itu ilmu sangatlah luas. Batas ilmu berada pada pikiran seorang manusia yang memikirkannya. Tiadalah seseorang dikatakan berilmu tanpa dia berusaha untuk memahaminya. Ilmu seseorang adalah sejauh mana dia berusaha memahami tentang sesuatu yang meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada. Tiadalah seseorang di dunia ini mampu memahami tentang semua yang ada dan yang mungkin ada. Yang terjadi hanyalah berusaha dan terus berusaha untuk bisa memahaminya sampai pada batas pikirannya.
Elegi ini, disamping memberikan gambaran tentang ilmu juga memberikan penjelasan bahwa terdapat banyak macam ilmu. Disamping itu juga memberikan pelajaran bahwa hidup ini harus dijalani dengan ilmu. Seseorang tidak akan bisa menjalani peran dalam hidupnya tanpa bekal yang namanya ILMU. Untuk itu kita harus senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati meningkatkannya dengan terus belajar, membaca, dan berdoa.


Baca: Elegi Konferensi Daerah Imajiner

Jumat, 25 November 2011

Refleksi Elegi Wawancara Orang Tua Berambut Putih

Saya termasuk salah satu yang pada awalnya merasakan mempelajari filsafat sangat dan belum bisa menemukan apa manfaat mempelajarinya. Dalam perjalanan mempelajarinya melalui perkuliahan lama-kelamaan perasaan itu berkurang (walaupun kesulitan itu masih tetap ada) dan saat ini mulai menemukan jawaban atas pertanyaan apa manfaat mempelajari filsafat?
Metode pembelajaran filsafat melalui elegi-elegi ini menurut saya sangat sangat efektif dan efisien dalam membangun filsafat. Hal ini dikarenakan dalam elegi-elegi tersebut sudah merepresentasikan beberapa sumber referensi, yaitu sumber pertama/primer dan kedua/sekunder (dalam elegi ini oleh Bapak disampaikan sebagai inspirasi saja) dan hasil refleksi pengalaman Bapak setelah membaca filsafat dan mengalami kehidupan langsung. Dengan demikian, pada dasarnya melalui elegi-elegi yang ada, kita bisa mempelajari filsafat dari sumber pertama, kedua, dan ketiga yang disajikan secara khas berbentuk dialog-dialog.
Setelah mengikuti perkuliahan filsafat dan membaca elegi-elegi ini menjadi lebih jelas bahwa filsafat adalah kegiatan refleksi terhadap apa yang ada dan mungkin ada dalam kehidupan ini. Filsafat sangat dekat dengan kita. Filsafat adalah hidup kita itu sendiri. Melalui belajar filsafat ini, kita menjadi lebih berani mengemukakan pendapat, menjadi lebih kritis dalam menghadapi sesuatu, dan menjadi lebih sadar akan ruang dan waktu.

Rabu, 23 November 2011

Refleksi Elegi Sang Bagawat Menggapai Kesempatan

Hidup adalah pilihan. Di dalam banyak pilihan selalu ada kesempatan untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Profesi guru adalah sebuah pilihan. Di dalam pilihan ini terdapat bayak kesempatan yang bisa kita gunakan atau tidak.  Kesempatan untuk menjadi guru yang profesional atau tidak, kesempatan menjadi guru yang memberikan kesempatan kepada peserta didiknya atau tidak, kesempatan menggunakan berbagai strategi, metode, pendekatan, dan model dalam proses pembelajarannya atau tidak, kesempatan untuk hanya datang, mengajar dan pulang atau tidak, dan masih banyak lagi kesempatan-kesempatan dalam pilihan profesi guru itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hidup kita sangat tergantung dari hidupnya orang lain. Oleh karena itu, sebenar-benar kesempatan adalah apabila kita bisa hidup dan menghidupkan orang lain. Sebenar-benar guru hidup adalah apabila bisa menghidupkan para peserta didiknya. Guru yang demikian adalah guru yang selalu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya melalui proses pembelajaran di kelasnya. Guru yang hidup dan menghidupkan adalah guru yang tidak senantiasa menutup sifat-sifat peserta didiknya dengan mengatakannya bodoh, nakal, malas dan sebagainya. Guru yang hidup dan menghidupkan adalah guru yang selalu berdoa untuk dirinya dan peserta didiknya, guru yang senantiasa belajar untuk menunjang tugas profesionalnya, guru yang selalu membaca semua yang ada dan yang mungkin ada dalam diri peserta didiknya, guru yang selalu bertanya dan bertanya.
Demikianlah sebenar-benar guru menggapai kesempatan. Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya dalam mengemban tugas profesional kita sebagai guru. Amiiin.

Baca: Elegi Sang Bagawat Menggapai Kesempatan

Selasa, 22 November 2011

Refleksi Elegi Metafisika Filsafat

Alhamdulillah...saya mendapat kesempatan membaca elegi ini...
Saya merasakan semua elegi yang sudah saya baca terdapat dalam elegi ini.
Tiga pertanyaan mendasar, yaitu Apa, Bagaimana, dan Mengapa belajar filsafat semua terdapat dalam elegi ini.
Pertanyaan "apa filsafat itu?", terjawab dari sebuah kalimat singkat dalam elegi ini, yaitu "Filsafat itu adalah refleksi" yang dalam kenyataannya bermakna sangat luas melebihi singkatnya kalimat itu.Selanjutnya pertanyaan "bagaimana seharusnya kita berfilsafat?", terjawab singkat dalam kalimat "Belajar filsafat itu tidak boleh sepotong-sepotong", yang bisa diartikan bahwa dalam berfilsafat kita harus melakukannya dengan penuh kesadaran, mendasar, dan menyeluruh dengan memperhatikan ruang dan waktu. Pertanyaan ketiga yaitu "Mengapa harus berfilsafat" terjawab dalam kalimat "orang yang telah mempelajari filsafat.... jauh lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek..."
Berdasarkan 3 pertanyaan dan jawaban dalam elegi tersebut, dapatlah dikatakan bahwa hidup dan kehidupan ini adalah filsafat.  Semua aktivtas kita dalam kehidupan ini adalah dalam rangka membangun filsafat. Agar dapat menghasilkan bangunan yang bagus maka harus kita lakukan sesuai dengan ruang dan waktu yang tepat. Dengan demikian kita berharap menjadi manusia yang lebih kritis dalam menghadapi dan memecahkan semua permasalahan hidup yang ada.
Disamping jawaban atas tiga pertanyaan mendasar tersebut, dalam elegi ini juga memberikan pelajaran yang sangat berarti dan mendasar. Dunia pembelajaran yang selama ini kita laksanakan adalah juga sebuah filsafat. Dia mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada dalam dunia pembelajaran, meliputi input, proses, output dan lingkungan. Untuk membawa dunia pembelajaran menjadi lebih baik tidak ada jalan lain kecuali dengan selalu merefleksinya meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada yang bisa direduksi menjadi 4 komponen tersebut. Sebagai seorang guru tidaklah bijaksana melakukan proses pembelajarannya dalam ruang dan waktu yang berbeda dengan metode, strategi, pendekatan, dan model yang sama dalam proses pembelajarannya. Jika hal tersebut terjadi maka sebenarnya kita telah menjadikannya proses pembelajaran itu menjadi sebuah mitos.
Yang terakhir, elegi ini juga memberikan pelajaran dalam hidup kita agar tidak menjadi sebuah jebakan filsafat yang berarti tidak ikhlas, tidak sungguh-sungguh, palsu, menipu, pura-pura, dsb. Dari nasehat ini kita bisa merefleksi kegiatan dalam proses pembelajaran kita. Apakah terjerembab ke dalam jebakan filsafat atau tidak? Apakah kita melakukan proses pembelajaran hanya semata-mata untuk meraih hasil UN dan mengejar peringkat sekolah yang bagus? Apakah kita melakukan persiapan hanya pada saat-saat tertentu menghadapi supervisi atau monitoring evaluasi (ME)? Jika keadaanya masih demikian maka harus kita akui bahwa dunia pembelajaran kita masih terpuruk dalam jebakan filsafat.
Dalam lingkup yang lebih luas, banyak slogan-slogan yang biasa kita buat dengan makna yang bagus tapi kurang bagus dalam pelaksanaan. Kampanye tentang pendidikan karakter saat ini amatlah bagus dan mudah diucapkan dan dituangkan dalam sebuah adminitrasi pembelajaran. Tapi apakah pelaksanaan di lapangan sudah sesuai dengan yang di kampanyekan dan di tuangkan dalam administrasi? Apakah lingkungan sekitar seperti media (cetak maupun elektronik) yang biasa menjadi tontonan para peserta didik kita sudah mendukung pelaksanaan pendidikan karakter? Itu beberapa pertanyaan seputar tulisan-tulisan yang indah dan bagus diucapkan dan dituliskan tapi sangat sulit dilaksanakan.
Semoga dengan elegi ini, dan elegi-elegi yang lain kita menjadi lebih ikhlas menjalani hidup dan kehidupan ini, sehingga menjadi berkah dan mendapat rahmat dari Allah SWT, Tuhan semesta alam. Amiiin....

Kamis, 17 November 2011

Refleksi Elegi Menggapai Bahasa

Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang berfungsi untuk menyatakan ide-ide/gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran kita. Hal ini bisa dilakukan baik secara lisan maupun tertulis dengan berbagai macam bahasa, seperti analog, univokal, ekuivokal, lambang dan yang lainnya. Dalam menggunakan bahasa untukmenyatakan ide/gagasan yang ada dalam pikiran kita, seharusnya kita mempertimbangkan ruang dan waktu. Jenis bahasa tertentu mungkin cocok dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi bisa tidakcocok di dalam ruang dan waktu yang lain. Sebagai contoh, seorang guru SD tidaklah cocok apabila dalam proses pembelajarannya menggunakan bahasa simbol/lambang secara total, tetapi bagi seorang guru SMP atau SMP penyampaian dengan bahasa simbol ini mulai dibenarkan.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari elegi ini adalah bahwa kita harus bisa menyatakan ide-ide/gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran kita dengan bahasa yang tepat sesuai dengan ruang dan waktu.

Refleksi Elegi Menggapai Tidak Risau

Setiap manusia tidak bisa lepas dari perasaan risau. Semua yang ada dan yang mungkin ada bisa membuat manusia menjadi risau. Risau akan sakit, miskin, lupa, tidak lulus, berbuat dosa, mati, dan masih banyak lagi merupakan contoh dari yang ada dan yang mungkin ada yang bisa membuat manusia risau.  Dia bisa datang kapan saja dan dimana saja, saat kita beraktivitas maupun tidak, secara horisontal maupun vertikal.
Hidup manusia tiada bisa terhindar dari kerisauan. Oleh karena itu wajib hukumnya bagi setiap manusia untuk selalu berusaha menguranginya dengan anti risau. Agar berkurang risau akan sakit maka lakukan aktivitas yang bisa membuat kita sehat. Agar berkurang risau akan lupa maka teruslah mengingat dengan cara senantiasa belajar, berlatih dan melakukannya. Agar berkurang risau akan miskin maka berusahalah merasa cukup atas apa yang kita miliki. Agar berkurang risau akan mati maka lakukan persiapan sebaik-baiknya untuk menghadapinya. Agar berkurang risau akan tidak lulus maka lakukan usaha maksimal dengan cara terus belajar dan berlatih sebaik-baiknya.
Namun demikian, aktivitas anti risau itu hanyalah sebagian dari usaha kita untuk mengurangi rasa risau. Dan sebenar-benarnya hasil adalah kita tidak akan bisa menghilangkan risau itu dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita diwajibkan mengiringinya dengan senantiasa berdoa mohon petunjuk dan kekuatan kepada-Nya, karena hanya Dia lah yang kuasa untuk menolong, mengurangi, bahkan menghilangkan risau itu. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan pertolongan-Nya. Amiin.

Rabu, 16 November 2011

Elegi Pemberontakan Para Formal

Sebuah pelajaran berharga dari elegi ini adalah bahwa dalam menjalani hidup ini kita harus selalu ingat 3 hal, yaitu: 1) ruang dan waktu; 2) berpikir intensif dan ekstensif; serta 3) menggapai logos.
Dengan selalu mengingat ruang dan waktu maka kita akan bisa menempatkan diri dengan benar. Semua peran yang kita jalankan, sebagai orang tua (di rumah), sebagai guru (di sekolah), sebagai mahasiswa (di kampus) dan sebagainya harus selalu mengacu pada ruang dan waktu.
Berpikir harus dilaksanakan secara intensif, yaitu secara sungguh-sungguh dan terus menerus hingga memperoleh hasil yg optimal, dan ekstensif, yaitu menjangkau secara luas. Keduanya harus kita lakukan dalam melaksanakan multi peran kita dalam kehidupan agar kita bisa mencapai hasil maksimal dalam jangkauan yang luas.
Namun demikian, kita juga harus selalu ingat bahwa ada kalanya kita dihadapkan pada masalah-masalah yang kita tidak mampu memikirkan bahkan mencari solusinya. Dalam kondisi yang seperti ini maka kita tidak semestinya melakukan pemaksaan kehendak. Kita harus gunakan pikiran dan hati yang bersandar sepenuhnya di bawah kuasa-Nya.

Refleksi dari Elegi Pemberontakan Para Normatif

Elegi ini menggambarkan salah satu bentuk arogansi para subyek di dunia pendidikan kita terhadap obyek yang semestinya difasilitasi untuk bisa berkembang sesuai dengan potensinya (peserta didik). Fenomena Ujian Nasional (UN) dalam berbagai bentuknya (Ebtanas, UAN, dan UN) telah memberikan dampak yang luar biasa dalam dunia pendidikan kita. Secara yuridis, UN memang hanya merupakan salah satu bentuk pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah. Faktanya di lapangan, UN telah membuat semua komponen terkait menjadikannya sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Hal ini dikarenakan hasil UN menjadi penentu kelulusan peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mulai dari orang tua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, bahkan kepala daerah semua berusaha menjadikan keberhasilan UN sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan di bidangnya. Orang tua akan sangat senang dan bangga melihat hasil UN putra-putrinya yang bagus. Guru akan sangat bangga apabila bisa mengantarkan anak didiknya meraih sukses dalam UN. Kepala Sekolah akan sangat bangga ketika sekolah yang dipimpinnya mendapatkan hasil terbaik dalam UN. Kepala Dinas pun demikian. Sebaliknya mereka akan merasa sangat terpuruk apabila hasil UN tidak sesuai dengan harapannya. Dalam keadaan yang seperti ini akan terjadi sebuah kondisi yang saling menyalahkan. Guru menjadi obyek kemarahan kepala sekolahnya. Kepala sekolah menjadi obyek kemarahan kepala dinas. Kepala dinas menjadi obyek kemarahan pimpinannya, demikia seterusnya. Inilah dampak luar biasa dari fenomena UN dalam dunia pendidian kita. Proses pembelajaran yang telah berlangsung 3 atau 6 tahun sebelumnya hanya ditentukan keberhasilannya dengan UN. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang wajar apabila banyak upaya-upaya (bahkan beberapa semestinya tidak dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan)  untuk meraih sukses dalam kegiatan itu.
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan seputar pelaksanaan UN, sudah semestinya paradigma UN di ubah dan dikembalikan seperti yang tercantum dalam peraturan pemerintah, yaitu sebagai salah satu pengukuran saja yang dilakukan secara nasional. Dengan demikian UN hanya dilaksanakan sebagai salah satu bentuk standarisasi tanpa menjadikannya sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik.

Refleksi Elegi Pemberontakan Para Obyek

Semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan ini pada hakekatnya berkenaan dengan hubungan antara subyek dan obyek. Keduanya merupakan dua hal yang selalu ada dan harus ada mengiringi semua yang ada dan yang mungkin ada. Jika salah satu tidak ada maka tiadalah yang lainnya. Seseorang di sebut kaya karena ada orang lain yang disebut miskin dan sebaliknya. Seseorang dikatakan tua karena ada orang lain yang dikatakan muda, demikian seterusnya. Oleh karena itu subyek dan obyek harus melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing secara proporsional sehingga tidak saling meniadakan satu dengan lainnya. Keduanya harus saling bekerja sama. Si kaya harus membantu si miskin demikian sebaliknya, si kuat juga harus membantu si lemah, dan seterusnya.
Semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan ini bisa sekaligus menjadi subyek dan obyek bergantung pada ruang dan waktu. Sebagai contoh seorang warga yang berprofesi sebagai guru dan menjadi ketua RW serta menempuh studi lanjutan. Sebagai ketua RW dia adalah subyek dengan warga di sekitarnya sebagai obyeknya, tetapi dia sekaligus menjadi obyek bagi kepala dusunnya. Sebagai guru dia adalah subyek bagi muridnya, tetapi merupakan obyek bagi kepala sekolah dan bagi dosen di mana dia menempuh studi lanjutnya.
Elegi ini memberikan sebuah pelajaran bagi kita semua bahwa pada hakekatnya kita semua bisa berperan sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam kehidupan ini. Dan setinggi-tingginya subyek dalam kehidupan ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menguasai seluruh dunia beserta isinya. Dan setinggi-tingginya peran sebagai obyek dalam kehidupan ini adalah keinginan kita untuk terus maju dan berkembang dalam naungan ridho-Nya.

Refleksi Elegi Ketika Sekali Lagi Pikiranku Tak Berdaya

Fatamorgana merupakan sesuatu yang bersifat kabur (tidak jelas). Semua yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan ini bisa menjadi sebuah fatamorgana yang kita tidak akan mampu memecahkannya. Dia bisa tinggal dalam hati dan pikiran kita, ataupun di luar keduanya. Meski demikian keduanya (hati dan pikiran) tidak akan mampu memecahkan semuanya karena keterbatasan yang ada pada diri kita.
Elegi ini memberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua agar dalam menghadapi segala permasalahan hidup ini, mulai dari yang sederrhana hingga yang bersifat kompleks, hendaknya selalu bersandar dan berserah diri sepenuhnya kepada-Nya. Disamping itu elegy ini juga mengajarkan kepada kita agar senantiasa bersikap rendah diri dan tidak sombong dalam menjalani kehidupan. 

Senin, 14 November 2011

Mempertemukan logika dan pengalaman untuk membangun filsafat

Berfilsafat berarti melakukan kegiatan refleksi diri terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada. Ini berarti obyek filsafat meliputi semua yang sudah kita ketahui (lakukan) dan yang mungkin akan kita lakukan (kita ketahui/pelajari).  Oleh karena itu dalam kegiatan membangun filsafat, diperlukan luruhnya EGO yang ditandai dengan kerendahan hati untuk mengevaluasi semua yang sudah kita lakukan (ketahui), termasuk di dalamnya semua kelebihan dan kekurangannya.
Dalam kegiatan membangun filsafat, kita harus melakukannya secara menyeluruh, mendasar, dan bahkan spekulatif. Berfilsafat dilakukan secara menyeluruh, dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Membangun filsafat juga harus dilakukan secara mendasar mecakup apa? bagaimana? dan mengapa? kita melakukan dan akan melakukannya. Disamping dua hal itu, membangun filsafat juga bersifat spekulatif, artinya kita memulainya dengan sebuah spekulasi, kemudian menentukan buah pikiran yang dapat digunakan yang merupakan titik awal penjelajahan kita terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada.
Sesuai dengan hakekat membangun filsafat sebagai kegiatan refleksi diri secara menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, maka sangatlah diperlukan sebuah penalaran, yaitu suatu proses berpikir dalam menarik sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang digunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta/pengalaman.
Penalaran yang bersumber pada rasio didasarkan pada logika berpikir yang deduktif, yaitu sebuah metode penarikan kesimpulan yang mendasarkan pada premis-premis (silogisme). Contoh penalaran dengan cara ini adalah pernyataan "jika matematika itu tunggal maka tidak konsisten" yang merupakan kesimpulan dari premis 1: "jika matematika itu tunggal maka tidak lengkap" dan premis 2: "jika matematika tidak lengkap maka ia tidak konsisten".
Penalaran yang bersumber pada fakta/pengalaman didasarkan pada logika berpikir yang induktif, yaitu sebuah penarikan kesimpulan yang didasarkan pada kasus-kasus khusus (fakta-fakta/pengalaman). Kelemahan metode ini adalah tidak ada jaminan konsistensi terhadap kesimpulan yang dihasilkan. Suatu kumpulan fakta/pengalaman atau hubungan antara fakta/pengalaman belum bisa menjamin terbentuknya sebuah pengetahuan yang sistematis. 
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam membangun filsafat diperlukan sebuah sarana berpikir (penalaran) yang disebut logika, meliputi deduktif (rasio) dan induktif (fakta/pengalaman).

Baca: Salam dari Thailand

Kamis, 10 November 2011

Refleksi Elegi Ritual Ikhlas II: Tanya jawab pertama perihal Hati yang Ikhlas

Semua amal (perbuatan) itu tergantung pada niatnya. Kalimat ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa kunci sukses menggapai ikhlas dalam beribadah adalah niat yang ikhlas. Niat yang ditujukan semata-mata untuk menggapai ridho-Nya. Niat-niat lain yang tidak ditujukan untuk-Nya seperti riya (pamer), ingin dipuji dan sebagainya yang kadang atau bahkkan sering menyusup harus kita kurangi atau hilangan agar kita benar-benar mendekati niat yang benar. Untuk ini, seharusnya kita selalu memulai dan mengakhiri segala aktivitas kita dengan berdo'a memohon ampunan dan perlindungan Allah dari segala godaan yang bisa menyimpangkan niat kita untuk semata-mata menggapai ridho-Nya.
Semoga kita diberi kekuatan untuk terus berusaha dan berdo'a mendekati hati yang benar-benar ikhlas.

Baca: Elegi Ritual Ikhlas II: Tanya jawab pertama perihal Hati yang Ikhlas

Refleksi Elegi Ritual Ikhlas II: Cantraka Hitam Menguji Ilmu Hitamnya

Dalam perjalanannya menggapai dimensi IKHLAS, kita tidak akan terlepas dari gangguan yang bisa mengurangi bahkan menghilangkan kadar keikhlasan itu. Dari berbagai arah dan dengan berbagai cara gangguan itu akan datang memberikan tawaran-tawaran yang menggiurkan yang sebenarnya akan mengurangi bahkan menjauhkan kita dari ikhlas. Untuk menangkal gangguan-gangguan itu kita harus terus menerus mendekatkan diri dengan-Nya melalui do'a-do'a.
Elegi ini juga mengajarkan kepada kita untuk tidak putus asa dalam menggapai dimensi ikhlas. Sudah menjadi kodrat bahwa kta tidak pernah terlepas dari salah, khilaf dan dosa. Namun demikian kita tidak boleh pasrah dan terpuruk oleh keadaan ini. Jika kita bersungguh-sungguh untuk memperbaikinya, maka sesungguhnya Allah itu maha luas maaf-Nya.
Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita dan kita benar-benar termasuk golongan yang tidak pernah putus asa dalam usaha mendekati dimensi ikhlas ini. 

Baca: Elegi Ritual Ikhlas II: Cantraka Hitam Menguji Ilmu Hitamnya: Elegi Ritual Ikhlas II: Cantraka Hitam Menguji Ilmu Hitamnya

Refleksi Elegi Ritual Ikhlas I: Cantraka Sakti belum Ikhlas

Dimensi IKHLAS pada seseorang tidak akan pernah bisa didekati atau dicapai apabila hati dan pikiran belum bersih (suci) dan masih ada kesombongan di dalamnya.
Derajat keikhlasan seseorang hanya dipengaruhi oleh hati dan pikiran, bukan yang lainnya seperti tingkat pendidikan, pangkat/jabatan bahkan kekayaan lainnya yang dimiliki. 

Baca: Elegi Ritual Ikhlas I: Cantraka Sakti belum Ikhlas: Elegi Ritual Ikhlas I: Cantraka Sakti belum Ikhlas

Refleksi Elegi Ritual Ikhlas I: Persiapan teknis

Begitu berat menggapai yang namanya IKHLAS...
Melalui elegi ini setidaknya kita semua menjadi ingat dan sadar bahwa apa yang kita lakukan, baik dalam hubungannya dengan Tuhan (vertikal) maupun dengan sesama makhluk ciptaan-Nya (horisontal) harus terus-menerus menuju sebuah dimensi tertinggi dalam beribadah yaitu IKHLAS, dimana semua yang kita lakukan semata-mata mengharap ridhlo dari Allah SWT.

Baca: Elegi Ritual Ikhlas I: Persiapan teknis

Refleksi Elegi Ritual Ikhlas I: Informasi awal

"Ikhlas" merupakan salah satu kata yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit diiplementasikan. Jika kita tidak melakukan sesuatu karena takut akan sesuatu apakah ini bisa dikatakan ikhas? Apakah yang kita lakukan semata-mata karena akan mendapat sesuatu itu juga sebuah ke-ikhlasan? Dan masih banyak lagi pertanyaa-pertanyaan terkait dengan masalah ikhlas ini. Yang harus kita lakukan untuk ini hanyalah selalu belajar dan belajar untuk bisa ikhlas. Ikhlas dalam beribadah (wajib maupu sunat), dan juga ikhlas dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kita sebagai makhluk multi peran. 


Baca: Elegi Ritual Ikhlas I: Informasi awal

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 7: Structuralism Mathematics

Matematika murni dibangun di atas 3 pilar, yaitu: logicism mathematics, formalism mathematics, dan structuralism mathematics. Matematika yang hanya dibangun dengan 3 pilar ini memilki obyek yang abstrak (di alam pikir). Mateatika yang seperti ini hanya cocok untuk orang-orang dewasa yang sudah bisa berpikir secara formal tanpa bantuan benda-benda nyata (kongkrit).
Dalam dunia pendidikan dasar dan menengah, matematika yang hanya dibangun berdasarkan 3 oiar tersebut sangat tidak cocok diterapkan. Hal ini dikarenakan anak-anak pada usia pendidikan dasar dan menengah rata-rata belum mampu berpikir formal (abstrak). Untuk mengatasi hal ini diperlukan sebuah strategi, metode, dan pendekatan yang tepat sehingga obyek matematika yang abstrak itu bisa terlihat lebih nyata (kongkrit) sehingga lebih mudah untuk dipelajari dan dipahami oleh peserta didik.
Pemaksaan 3 pilar matematika murni ke dalam pembelajaran matematika di sekolah (dasar dan menengah) bisa mengakibatkan muncul pandangan/sikap sebagian besar peserta didik yang menilai bahwa mateatika itu sulit, menakutkan dan sebagainya. Keadaan seperti ini yang berlarut-larut dari waktu ke waktu bisa mengakibatkan rendahnya hasil belajar peserta didik dalam mata pelajaran matematika.
Oleh karena itu, pembelajaran matematika di sekolah (dasar dan menengah) seharusnya disajikan dengan lebih kongkrit dengan bantuan benda-benda nyata yang sesuai, disamping harus menyenangkan, dalam arti ada keterlibatan secara aktif dari peserta didik dalam proses pembelajaran.

Baca: Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 7: Structuralism Mathematics