Pengikut

Senin, 31 Oktober 2011

Elegi Ritual Ikhlas IV: Menemukan Ruh

Berjumpa dan memandang wajah Rasullullah adalah harapan seluruh umat manusia.
Semoga Allah memberi petunjuk dan kekuatan kepada kita semua untuk terus memegang teguh kesaksian dalam kalimat "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasullullah" sehingga kelak kita benar-benar mendapat kesempatan untuk bisa berkumpul dan bersatu dengan Beliau beserta seluruh umatnya. Amiiin.

Baca: Elegi Ritual Ikhlas IV: Menemukan Ruh

Refleksi dari Elegi Menggapai Dasar Gunung Es

Gunung Es dalam elegi ini menggambarkan sebuah ILMU yang harus kita pelajari.
Kita tidak akan bisa menaklukkan gunung es itu (mendakinya sampai puncak atau menyelami hingga dasarnya). Ini menggambarkan bahwa hingga kapan pun kita tidak akan pernah bisa menguasai semuanya. Yang ada hanyalah mendekatinya sampai batas pikiran kita. Mendekati pun harus dengan segenap daya dan upaya, bahkan mutlak diperlukan sebuah kejujuran dan pengorbanan. Mengapa demikian, karena dia adalah sebuah GUNUNG ES di tengah samodra yang sangat luas bahkan tanpa batas. 
Dari gambaran fisiknya, ilmu ibarat gunung es. Oleh karenanya jika kita ingin menaklukkannya, maka kita harus mencairkannya. Ya, kita harus mencairkan SIKAP dan EGO kita. Dalam kondisi seperti ini maka kita akan bisa menggunakan akal sehat dan pikiran kritis kita untuk menemukan hakekat ilmu itu, cara memperoleh ilmu itu, dan manfaat dari ilmu itu. Inilah sebenar-benar yang bisa kita lakukan, itu pun tidak akan pernah mencapai kesempurnaan, karena kesemupurnaan itu mutlak hanya milik-Nya.

Baca: Elegi Menggapai Dasar Gunung Es

Refleksi dari Elegi Menggapai Ramai

Suara 1 hingga Suara 9 dalam elegi ini menggambarkan tingkatan aktivitas hidup manusia yang berkaitan dengan pencitpta-Nya, yaitu Allah SWT Tuhan Semesta Alam.
Menurut saya, hubungan seseorang dengan Tuhan-Nya tidak akan serta merta sampai pada level 9 seperti yang digambarkan oleh suara 9, tetapi itu akan berjalan mengikuti tingkatan-tingkatan tersebut. Yang membedakan dari setiap tingkatan itu adalah ILMU yang dimilikinya (yang dalam elegi ini disebut dengan kalimat "...sampai batas pikiranku).
Dalam perjalanannya, memang kita harus menuju pada level 9 dimana hubungan kita dengan-Nya berlangsung dengan sepenuh HATI, JIWA dan RAGA. Untuk itu kita harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang ada di batas pikiran kita yaitu ILMU.

Baca: Elegi Menggapai Ramai

Sabtu, 22 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Menggapai Hati

Segala aktivitas yang kita lakukan tanpa kita memikirkannya dengan dasar ILMU akan menjadi MITOS belaka. Agar terhindar dari hal ini maka kita harus menggunakan pikiran dan mengendalikannya dengan HATI yang jernih. Dengan kondisi ini maka kita akan terhindar dari segala macam pikiran dan rasa kawatir, sehingga kita  bisa menjalani aktivitas kehidupan ini dengan penuh IHLAS, KHUSYUK, dan TAWADU' serta terhindar dari perasaan SOMBONG yang akan mengotori HATI.
Elegi ini memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita semua agar dalam setiap aktivitas kehidupan kita semata-mata hanya untuk menggapai ridho-Nya.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang demikian adanya dan terhindar jauh sebagai GURU MITOS, MAHASISWA MITOS, dan segala macam bentuk MITOS lainnya.

Baca: Elegi Menggapai Hati

Refleksi dari Elegi Bagaimana Matematikawan Dapat Mengusir Syaitan?

Elegi ini memberikan pelajaran kepada kita dalam mengatsai masalah/kesulitan yang kita hadapi dalam kehidupan.
Semua manusia dalam menjalani hidupnya di duia ini tidak akan terlepas dari berbagai masalah/kesulitan mulai dari yang sederhana hingga yang sangat kompleks. Semua masalah/kesulitan ini harus kita selesaikan dengan cara yang CERDAS menggunakan ILMU dan AKAL, sebagai salah satu keistimewaan rahmat yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia.
Disamping itu, menyelesaikan masalah dalam kehidupan ini harus dilakukan dengan penuh IHLAS, RENDAH HATI (tidak sombong), dan TAWAKAL kepada Yang Esa, Allah SWT.

Baca: Elegi Bagaimana Matematikawan Dapat Mengusir Syaitan?

Jumat, 21 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Menyesali Rumahku Yang Terlalu Besar

Rumah besar dalam elegi ini menurut saya bisa berbentuk apa saja, dari semua yang ada dan yang mungkin ada. Dia hanyalah sebuah kiasan untuk menggambarkan sebuah wadah dan isi saja. Bahkan hati kita yang kecil pun dapat menjadi rumah besar yang digambarkan dalam elegi ini.
Pelajaran yang bisa diambil dari elegi ini adalah bahwa kita harus mengerti dan bertanggungjawab atas apa yang menjadi tugas dan kewajiban di mana kita berada, sehingga semua bisa berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan yang akan dita capai dalam membangun sesuatu pada diri kita.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang punya banyak peran (multi peran) dalam hidupnya. Dia bisa berperan sebagai ayah/ibu (dalam keluarga), sebagai guru (di sekolah), sebagai mahasiswa (di kampus), sebagai pengurus sebuah organisasi (di masyarakat) dan mungkin lebih banyak lagi peran-peran lainnya yang harus dilaksanakan. Bukankah sosok seseorang itu bisa juga digambarkan sebagai rumah besar? Dan peran-peran yang harus dilaksanakannya sebagai isi rumah itu? Dalam kondisi yang seperti ini kita tidak bisa hanya melaksanakan satu peran saja dengan mengabaikan peran-peran yang lain. Semua peran itu harus dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai tujuannya.
Semoga kita bisa menjalani semua dengan penuh keihlasan di bawah petunjuk-Nya.

Baca: Elegi Menyesali Rumahku Yang Terlalu Besar

Refleksi dari Elegi Pemberontakan Para Logos

Logos dan mitos merupakan dua hal yang selalu berjalan mengiringi perjalanan hidup setiap orang. Keduanya berusaha saling mengalahkan. Logos selalu berusaha mengalakan para mitos, sebaliknya mitos selalu berusaha keras mempengaruhi para logos agar masuk menjadi anggotanya.
Pemberontakan para logos dalam elegi ini menggambarkan seorang yang berilmu tetapi tidak menggunakan hatinya. Mereka dengan sombong mengatakan telah banyak berjuang mengalahkan para mitos, dan akan terus berjuang untuk menundukkan semua yang ada dan yang mungkin ada yang dianggap menjadi tantangannya, sekalipun itu di luar batas pikirannya. Kondisi inilah yang akan membuat para logos terjerumus masuk menjadi anggota para mitos. Inilah sebenar-benarnya usaha para mitos untuk mengajak para logos menjadi anggotanya.
Simpulannya, dalam mencari dan mengamalkan sebuah ilmu harus menggunakan hati yang jernih yang selalu bersandar pada kekuasaan-Nya melalui keihlasan berusaha dan berdoa diiringi dengan sikap tawakal kepada-Nya.

Baca Elegi Pemberontakan Para Logos

Kamis, 20 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Menggapai Nilai Diri

Nilai diri seseorang ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya. Dalam hal ini adalah ilmu yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Ilmu akan bermanfaat bagi diri kita apabila dengan ilmu yang kita miliki tidak menjadikan kita lupa diri dan sombong, tetapi sebaliknya, yaitu menjadikan diri kita lebih bersyukur dan IHLAS dalam menjalani hidup. Ilmu akan bermanfaat bagi orang lain apabila dengan ilmu itu kita bisa membaur, berkontribusi secara aktif, dan tidak sekedar menjadi obyek di manapun kita berada.
Agar kita terhindar dari lupa diri dan sombong atas ilmu yang kita miliki, maka REFLEKSI DIRI adalah cara yang senantiasa harus kita lakukan.

Baca Elegi Menggapai Nilai Diri

Refleksi dari Elegi Pengembaraan Orang Tua Berambut Putih

Menuntut ilmu harus didasari dengan sebuah kesadaran akan kebutuhan karena ketidaktahuan kita tentang ilmu tersebut. Orang Tua Berambut Putih dalam Elegi ini telah memberikan contoh kegigihannya dalam mencari tahu tentang sesuatu. Dia tidak puas hanya dengan melihat masa lampau, tapi juga sekarang dan masa depan. Inilah yang bisa kita teladani dalam menuntut ilmu, yaitu kita harus melihat masa lampau (pemikiran para tokoh), sekarang (perkembangan saat ini), dan masa depan (prediksi di masa yang akan datang).

Baca Elegi Pengembaraan Orang Tua Berambut Putih

Minggu, 16 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Pemberontakan Para Beda

Semua ciptaan Tuhan, yaitu semua yang ada dan yang mungkin ada adalah berbeda. Tidak ada di dunia ini sesuatu yang tidak beda. Inilah yang justru menunjukkan keagungan Allah, Tuhan semesta alam. Tidak bisa dibayangkan seandainya semua yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini tidaklah beda. Bagaimana seandainya manusia diciptakan berjenis kelamin sama (laki-laki/perempuan semua)? Bagaiman pula jika organ tubuh semua manusia diciptakan tidak beda (misalnya kedua tangan/kakinya kanan/kiri semua)? Oleh karena itu, perbedaan itu adalah sebuah rahmat-Nya yang harus disyukuri oleh semua makhluk ciptaan-Nya.
Tidaklah bersyukur seorang guru yang menganggap peserta didiknya semua mempunyai karakter yang sama, sehingga harus dituntut sama dalam segala hal. Oleh karena itu, seharusnya sorang guru bisa memposisikan setiap peserta didiknya dalam posisi yang berbeda-beda. Berbeda minatnya, berbeda kemampuannya, berbeda pendapatnya, berbeda kecepatan belajarnya, dan sebagainya.
Seorang guru harus mampu mengakomodir pendapat/ide peserta didiknya yang berbeda-beda yang mungkin muncul dalam proses pembelajaran. Harus disadari bahwa dalam 1 kelas yang terdiri dari 20 peserta didik, di situlah terdapat minimal 20 ide yang berbeda. Memang ide-ide/pendapat-pendapat mereka tidaklah semua benar/baik menurut benarnya guru. Dalam kondisi seperti inilah akan terjadi interaksi aktif antara peserta didik dan guru untuk membangun pengetahuan yang menjadi obyek dalam pembelajarnnya. 

Baca Elegi Pemberontakan Para Beda

Refleksi dari Elegi Silaturahim Matematika

Matematika dapat dipandang dalam berbagai cara. Dia bisa dipandang sebagai ilmu, tetapi sekaligus kontradiksinya, yaitu bukan ilmu. Dia adalah bahasa dan cara berpikir yang logis, sistematis, dengan struktur deduktif.
Matematika mempunyai beberapa sifat, yaitu tunggal, universal, pasti, dan obyektif. Sifat-sifat itu merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Hanya memegang dan mengagung-agungkan salah satu saja dari sifat-sifat matematika akan menjadikannya sebagai mitos, sebenar-benarnya musuh dari ilmu. Jadi, matematika akan menjadi sebuah ilmu hanya jika dia bersifat tunggal, universal, pasti, dan sekaligus obyektif.

Baca Elegi Silaturahim Matematika

Sabtu, 15 Oktober 2011

Elegi Seorang Hamba Menggapai Ruang dan Waktu

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan dibatasi oleh ruang dan waktu. Bahkan semua makhluk di dunia ini begitu adanya diciptakan oleh Yang Menguasai Ruang dan Waktu, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu sangatlah sombong manusia-manusia yang lupa akan ruang dan waktu, yaitu manusia-manusia yang tidak bisa menempatkan dirinya kapan harus bersikap, berucap dan berbuat?
Agar bisa terhindar masuk dalam ruang dan waktu yang salah, menurut saya hanyalah dengan jalan IHLAS, SABAR, dan TAWAKAL. Ihlas dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab, diiringi dengan kesabaran dalam menghadapi segala hambatan/rintangan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Kuasa (Tawakal).
Dengan sikap IHLAS, SABAR dan TAWAKAL kita akan terhindar dari sikap memaksakan kehendak dalam segala keadaan. 

Baca Elegi Seorang Hamba Menggapai Ruang dan Waktu

Rabu, 12 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Menggapai Reduksi

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Reduksi adalah sebuah metode berpikir mengenai semua yang ada dan yang mungkin ada dengan cara mengambil bagian tertentu saja sesuai dengan keperluan berpikir. (Ontologi)
Reduksi dapat dilakukan dengan cara memikirkan sebagian kecil saja dari obyek yang dipikirkan, yaitu mengenai semua yang ada dan yang mungkin ada. Sebagai conotoh, untuk keperluan pembelajaran matematika kita dapat menghilangkan beberapa sifat yang dimiliki bilangan, dan hanya memikirkan nilainya saja. (Epistemologi)
Reduksi sangat diperlukan dalam berbagai pemecahan masalah. Dengan reduksi, masalah yang sangat kompleks dapat disederhanakan sehingga menjadi terlihat lebih simpel dan mudah dipecahkan. Dalam memecahkan soal-soal matematika pun reduksi sangat diperlukan. Tidak jarang permasalahan dalam pembelajaran matematika dapat dengan mudah dipselesaikan dengan cara meREDUKSInya. Sebagai contoh, permasalahan matematika yang melibatkan gambar yang rumit, akan menjadi lebih mudah dengan cara membuat gambar yang lebih sederhana tanpa mengurangi makna dari gambar yang ada.  (Aksiologi)

Baca Elegi Menggapai Reduksi

Selasa, 11 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Menggapai Dimensi

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Ontologi:
Dimensi merupakan derajat/tingkatan. Semua yang ada dan yang mungkin ada memiliki dimensinya masing-masing, satu sama lain bisa berbeda-beda. Semua itu berada dalam kuasa Sang Pencipta yang merupakan dimensi paling tinggi (dimensi absolut).

Epistemologi:
Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna mempunyai dimensi yang bermacam-macam antara satu dengan yang lain. Dimensi pada manusia bisa berubah-ubah, bisa meningkat bahkan juga bisa menurun. Dimensi manusia akan mengalami peningkatan ketika mereka selalu berusaha secara terus-menerus menambah ilmunya (ilmu dunia dan akhirat) sehingga menjadi seorang manusia yang berilmu dan bernurani. Sebaliknya dimensi manusia bisa mengalami penurunan ketika manusia itu hanya berusaha menambah ilmu dunianya tanpa mengimbangi dengan ilmu akhirat. Jika demikian, maka manusia itu akan terperosok ke dalam dimensi yang paling rendah, yaitu manusia yang berilmu tetapi tidak bernurani.

Aksiologi:
Berdasarkan elegi ini dapat diambil sebuah pelajaran penting bahwa kita (manusia) harus senantiasa berusaha meningkatkan dimensi dengan cara selalu belajar untuk menambah ilmu (baik dunia maupun akherat). Keduanya harus dilakukan secara seimbang, karena kalau tidak demikian maka dimensi yang kita milika akan tidak seimbang. Kalau hanya menambah ilmu dunia tanpa diimbangi ilmu akhirat maka kita hanya akan tambah cerdas tetapi nurani tidak berkembang. Hal ini akan melahirkan manusia-manusia cerdas yang tidak bernurani yang sangat membahayakan dunia. Demikian pula halnya apabila hanya nurani saja yang selalu dikembangkan tanpa diimbangi dengan peningkatan ilmu duniawi.


Baca Elegi Menggapai Dimensi

Minggu, 09 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Konferensi Patung Filsafat

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ontologi:
Patung filsafat  sebuah kondisi dimana seseorang memaksakan kehendak untuk berpikir, berniat, atau berencana menjadikan semua yang ada dan yang mungkin ada pada dirinya agar menjadi yang ada dan yang mungkin ada bagi orang lain tanpa memperhatikan kondisi yang sebenarnya dari yang ada dan yang mungkin ada pada dirinya, apakah sebenar-benarnya dapat menjadi yang ada dan yang mungkin ada bagi orang lain atau tidak.

Epistemologi:
Siapa pun dalam dunia ini sangat mungkin terjerumus menjadi sebuah patung filsafat, dalam bentuk yang sangat banyak macamnya. Kondisi seseorang yang memaksakan kehendak tanpa melihat ke dalam dirinya untuk menjadi contoh, tokoh, sumber ide, slogan, menasehati, berlaku bijaksana, paling disiplin, menjadi pembimbing, memimpin, mengkoordinir, dan menjadi semua yang ada dan yang mungkin ada bagi orang lain, itulah sebenar-benarnya dia telah menjelma menjadi sebuah patung filsafat. Untuk menghindarkan diri dari jebakan menjadi sebuah patung filsafat hanyalah dengan satu jalan yaitu berpikir kritis dan logis tetang semua yang ada dan yang mungkin ada.

Aksiologi:
Dari elegi ini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini kita harus berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjelma menjadi sebuah patung, yang selalu berusaha memaksakan kehendak sesuai dengan kemauannya untuk menjadi yang TER.... bagi orang lain. Untuk ini berpikir yang kritis dan logis dalam setiap hal harus selalu dikembangkan dan dilakukan.

Baca Elegi Konferensi Patung Filsafat

Refleksi dari Elegi Jebakan Filsafat

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Ontologi:
Jebakan filsafat merupakan lawan keadaan dimana keberadaan sesuatu tidak sesuai dengan yang seharusnya. Sesuatu dikatakan masuk dalam jebakan filsafat apabila sesuatu itu berada di dalam ruang dan waktu yang salah.

Epistemologi:
Jebakan filsafat bersifat sangat halus, lembut, dan tersembunyi pada batas sebuah dimensi. Jebakan ini sangat banyak macamnya, seperti ketidaksadaran, ketidakikhlasan, tidak perhatian, tidak berminat, tidak punya sikap, tidak berkarakter, tidak disiplin, tidak jujur, tidak bertanggungjwab. dsb. Lawan dari semua yang harus dan seharusnya kita lakukan adalah sebuah jebakan. 

Aksiologi:
Dari elegi ini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam menjalani hidup ini kita harus sangat berhati-hati dan harus berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan hal-hal yang harus dan seharusnya tidak kita lakukan.

Baca Elegi Jebakan Filsafat

Sabtu, 08 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Menggapai Mengada dan Pengada

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ontologi:
MENGADA dan PENGADA adalah bagian dari diri sesuatu. Kedua hal itu yang akan menunjukkan tentang keber-ADA-an dari sesuatu itu. Jadi, sesuatu itu ADA hanya apabila dia MENGADA dan mejadi PENGADA. Dengan kata lain, jika tidak MENGADA dan menjadi PENGADA maka sebenarnya sesuatu itu TIDAK ADA.

Epistemologi:
MENGADA-nya sesuatu dapat dilakukan dengan cara melihat semua aktivitas dan kreatifitas yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sedangkan hasil dari semua aktivitas dan kreatifitas yang menjadi tugas dan kewajibannya itulah yang menjadi PENGADA bagi dirinya.

Aksiologi:
Dari elegi ini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini tidak cukup hanya diam berpangku tangan dan puas dengan keadaannya. Jika hanya demikian maka sebenarnya kita ADA tetapi sekaligus TIDAK ADA. Seorang guru profesional tidak cukup ditunjukkan dengan dimilikinya SERTIFIKAT dan tambahan PENGHASILAN yang diperolehnya, tetapi harus diikuti dengan AKSI yang nyata secara proporsional sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya menuju meningkatnya profesionalitas yang dimilikinya. Jika tidak demikian maka guru profesional itu ADA tetapi belum MENGADA dan menjadi PENGADA, sehingga sebenarnya dia TIDAK ADA. Usaha untuk menjadi lebih baik dalam segala hal harus selalu dan terus dilakukan.

Baca Elegi Menggapai Mengada dan Pengada

Refleksi dari Elegi Menggapai Ada

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Ontologi:
ADA adalah sebuah kenyataan, artinya kita bisa mengatakan sesuatu itu ADA kalau dia nyata. Sesuatu itu nyata kalau kita bisa menunjuk sedikitnya satu sifat. Keber-ADA-an sesuatu bisa terjadi di dalam pikiran dan di luar pikiran.

Epistemologi:
Keber-ADA-an sesuatu dapat dilihat dari sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada tentang sesuatu itu baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk mengetahui keber-ADA-an sesuatu yang berada di luar pikiran kita, dapat dilakukan dengan memahami sifat-sifatnya, sedangkan keber-ADA-an sesuatu yang di dalam pikiran kita, dapat dilakukan dengan berusaha menjelaskan sifat-sifatnya kepada orang lain.

Aksiologi:
Dari elegi ini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa eksistensi/keberadaan kita hanya dapat ditunjukkan melalui aktivitas dan kreatifitas kita. Keber-ADA-an seorang guru bisa dilihat dari aktivitas dan kreatifitasnya dalam proses pembelajaran. Fakta 1 + 2 = 3 hanya ADA dalam pikiran. Seorang guru haruslah selalu berusaha dapat menjelaskan keber-ADA-an di dalam pikirannya kepada peserta didiknya dengan penuh kreatifitas, sehingga proses transfer pengetahuan yang ADA dalam pikirannya dapat ditangkap oleh semua peserta didiknya.

Baca Elegi Menggapai Ada

Refleksi dari Elegi Menggapai Hakekat

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Hakekat merupakan sesuatu yang paling dalam dan paling luas dari semua yang ada dan yang mungkin ada. Hakekat dari sesuatu adalah sesuatu yang sudah tidak terbantahkan lagi keberadaannya. 

Untuk menemukan sebuah hakekat kita perlu melakukan refleksi dengan penuh kesadaran dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Untuk keperluan ini kita mesti banyak belajar melalui membaca dan bertanya. Semua yang ada dan yang mungkin ada adalah sumber bacaan yang bisa digunakan untuk refleksi.

Dari elegi ini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa kita harus terus belajar melalui membaca berbagai referensi disamping harus bertanya kepada ahlinya.

Baca Elegi Menggapai Hakekat

Rabu, 05 Oktober 2011

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 6: Apakah Matematika itu Ilmu?

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Aspek Ontologi:
Matematika akan menjadi ilmu hanya bila dibangun berdasarkan intuisi. Intuisi sendiri sangat dipengaruhi oleh penglaman yang sangat terikat oleh ruang dan waktu. Jadi Matematika sebagai ilmu sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Mengacu pendapat Kant, matematika juga bisa dipandang bukan ilmu. Dalam kondisi ini, matematika hanya berfungsi sebagai sebuah cara berpikir saja.

Aspek Epistemologi:
Matematika terstruktur secara deduktif dan tidak pernah ada pertentangan di dalam sistemnya(konsisten). Ini bukan berarti matematika itu tidak bisa dinamis (berkembang). Sebagai ilmu, matematika justru selalu berkembang seiring perjalanan ruang dan waktu .

Aspek Aksiologi:
Matematika sekolah harus diajarkan dengan memperhatikan ruang dan waktu. Menyampaikan matematika kepada peserta didik SD harus berbeda dengan peserta didik SMP, demikian pula kepad peserta didik SMA. Jika ruang dan waktu tidak diperhatikan, maka menyampaikan matematika sekolah tidak beda halnya dengan menyampaikan pengumuman saja.

Baca Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 6: Apakah Matematika itu Ilmu?

Minggu, 02 Oktober 2011

Refleksi dari Artikel Populer: Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Matematika

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Aspek Ontologi:
Karakter bangsa merupakan bagian penting yang harus diperhatikan dalam pendidikan. Sebagai investasi jangka panjang, pendidikan harus mampu menanamkan karakter positif yang kuat kepada para peserta didik secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga para generasi muda calon-calon penerima estafet kepemimpinan bangsa ini kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin yang berkarakter kuat yang bisa mngembalikan keterpurukan bangsa ini di dalam berbagai aspek. Pendidikan Matematika sebagai salah satu bagian di dalamnya punya kewajiban ikut menanamkan karakter tersebut kepada para peserta didik dalam proses pembelajarannya. Pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah mengandung arti seberapa jauh proses pembelajaran matematika di sekolah dapat memberikan pengetahuan, menguatkan niat, dan kemauan melaksanakan nilai-nilai karakter yang ditanamkan melalui proses pembelajaran.
Aspek Epistemologi:
Pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah dapat dilaksanakan secara terintegrasi dalam proses pembelajaran matematika. Guru sebagai fasilitator, dapat menanamkan karakter tertentu melalui pengkondisian kelas dan pemberian fasilitas dalam proses pembelajarannya agar peserta didik melakukan salah satu nilai-nilai yang akan ditanamkan. Sebagai contoh, guru masuk/keluar kelas tepat waktu (disiplin), mengawali dan mengakhiri kegiatan pembelajaran dengan berdo'a (religius), memfasilitasi kegiatan diskusi dan presentasi yang sehat (menghargai pendapat). Sebagai sumber ajar dalam proses pembelajaran, guru memberikan contoh nyata tentang karakter-karakter positif yang akan ditularkan kepada peserta didiknya. Sebagai seorang motivator, guru selalu memberikan motivasi kepada peserta didiknya untuk selalu bertindak yang baik sesuai dengan norma/aturan yang berlaku. Ketiga fungsi guru itu, sebagai fasilitator, sumber ajar, dan motivator harus dilaksanakan untuk meraih 2 tujuan sekaligus, yaitu peserta didik mampu mempelajari dan memahami konsep matematika yang dipelajari sekaligus menanaman karakter positif yang kuat kepada peserta didiknya.

Aspek Aksiologi:
Keberhasilan pendidikan karakter mempunyai 3 kunci pokok, yaitu adanya pengetahuan, niat, dan pelaksanaan dari nilai-nilai karakter yang ditanamkan. Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak hanya sebatas memberitahu saja, tetapi harus sampai pada pelaksanaan. Semua komponen terkait di bidang pendidikan (termasuk guru) seharusnya tidak hanya sibuk mengkampanyekan pendidikan karakter melalui penyusunan/penyiapan administrasi (perangkat) pembelajaran yang berkarakter saja, tetapi harus sampai pada contoh pelaksanaan nilai-nilai karakter tersebut. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus mampu memberikan contoh/tauladan tentang karakter-karakter positif yang akan ditanamkan. Pendidikan karakter adalah kegiatan PEMBIASAAN melakukukan nilai-nilai karakter itu sendiri. Pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggungjawab guru di sekolah saja, tetapi juga orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya.

Baca Artikel Populer: Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika

Sabtu, 01 Oktober 2011

Refleksi dari Elegi Pemberontakan Matematika 9: School Mathematics

Identifikasi aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Aspek Ontologi:
Matematika sekolah adalah bagian dari Matematika yang dipilih untuk kepentingan kependidikan dan perkembangan IPTEK. Bagian Matematika yang dipilih untuk kepentingan ini adalah yang dapat melatih cara berpikir (melalui kegiatan penelusuran pola atau hubungan), mengembangkan kemampuan pemecahan masalah (melalui kegiatan problem solving), mengembangkan kreatifitas (melalui kegiatan penemuan/investigasi), dan mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide/gagasan (melalui kegiatan komunikasi matematika).

Aspek Epistemologi:
Berdasarkan kepentingan kependidikan itu, maka Matematika Sekolah harus diberikan kepada peserta didik dengan memperhatikan tingkat perkembangan intelektual peserta didik yang berbeda-beda dan selalu berkembang sesuai dengan ruang dan waktu pada setiap jenjang mulai dari SD, SMP, dan SMA. Untuk itu penyajian Matematika Sekolah harus memperhatikan tingkat keabstrakannya, dimulai dari yang lebih kongkrit menuju pada yang lebih abstrak. Disamping itu, pola berpikir dalam Matematika Sekolah juga harus  dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menuju yang bersifat umum (INDUKTIF). Sekali lagi, Matematika Sekolah sangat terikat oleh ruang dan waktu, sehingga dalam proses pembelajarannya harus dimulai dari yang sederhana, kongkrit, dengan pola pikir induktif untuk menuju yang lebih kompleks, abstrak dan pola pikir yang deduktif sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didiknya.

Aspek Aksiologi:
Dari elegi ini, dapat diperoleh pelajaran bahwa seorang guru (Matematika) harus mampu merancang design pembelajaran dan menerapkannya dengan memperhatikan tingkat perkembangan intelektual peserta didiknya. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta proses pembelajaran Matematika yang menyenangkan, sehingga konsep-konsep yang disajikan menjadi lebih mudah dipahami, dan akhirnya prestasi belajar peserta didik di bidang Matematika akan meningkat tanpa melalui cara INSTAN dan MENAKUTKAN.


Baca Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 9: School Mathematics